Eren
6 min readJan 5, 2025

last time

“Bentar ya, saya sarapan dulu. Kamu udah sarapan Jinan?” Tanya pak Pramana dengan senyum ramahnya.

Jinan mengangguk cepat, “udah kok pak… ini ijazahnya nggak bisa langsung dikasih kesaya ya?” Tanyanya gelisah.

Pak Pramana lagi-lagi tersenyum, “kenapa sih buru-buru sekali Jinan, masih pagi loh ini. Saya juga mau bincang-bincang sedikit sama kamu.” Ucap pak Pramana.

Jinan seketika merasa tak enak hati, sebab pak Pramana sangat baik. Bahkan sejak pertemuan mereka saat sidang skripsi, pak Pramana begitu perhatian padanya.

“Maaf pak…” ucapnya pelan.

Pak Pramana mengangguk sambil tersenyum, ia buka sekotak bekal yang ia keluarkan dari dalam tas nya lalu mulai melahapnya.

“Kamu udah kerja Jinan?” Tanya pak Pramana basa-basi.

Jinan menggeleng pelan lalu menundukkan kepalanya, ia merasa malu sebab tak bekerja seperti teman-temannya yang lain.

“Oalah, nggak apa-apa Jinan nggak perlu malu. Saya juga paham pasti susah cari pekerjaan untuk fresh graduate yang belum punya banyak pengalaman, toh teman-teman kamu yang lain juga banyak yang belun dapat kerja.” Ucap Pak Pramana.

Jinan tersenyum kecut, tentu saja bukan itu alasan ia belum bekerja sampai saat ini. Ia tak bekerja karna kondisi tubuhnya yang tengah hamil, sangat rentan sakit.

“Iya pak..”

Pak Pramana tersenyum sambil mengunyah makanannya, “kamu gimana sama pak Agam? Hubungannya, masih sering komunikasi kan?”

Jinan seketika bungkam, ia tak menyangka pak Pramana akan menyinggung soal pak Agam dengannya. Ia gigit bibir bawahnya pelan dan memainkan jari-jarinya seperti orang gugup, sambil memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu.

Jinan menegup ludahnya kasar, lalu menganggukkan kepalanya pelan. Ia terpaksa berbohong agar pak Pramana tak semakin penasaran.

Namun nampaknya laki-laki itu tahu sesuatu diantara dirinya dan pak Agam.

“Yang bener Ji, kalo emang gitu kenapa pak Agam galau terus sambil liatin roomchat sama kamu.” Ucapnya bikin jantung Jinan seketika berdegup kencang.

Ia tak percaya pak Agam galau sambil meratapi roomchatnya bersama Jinan.

“Emang iya.. pak?” Tanya Jinan dengan suara pelan.

Pak Pramana terkekeh, padahal laki-laki itu hanya asal bicara. Namun memang tiap kali ia bertemu pak Agam diruangannya, pak Agam sering terlihat diam sambil menatap keluar, seperti orang yang merana.

“Kamu ada masalah apa memang sama pak Agam Ji, kok tiba-tiba kayak gitu. Padahal kayaknya pak Agam perhatian sekali sama kamu, sampai titipin kamu ke saya waktu itu, nggak pernah sebelumnya pak Agam main titip titip kayak gitu. Kasihan loh pak Agam mukanya lesu sampai badannya kurus ditinggal kamu.”

Jinan tertegun, “emang iya sampe kurus?” Tanya Jinan tak percaya.

Pak Pramana terkekeh, “liat aja kalo nggak percaya.”

Jinan tersenyum kecut, mana bisa ia melihat pak Agam. Toh tujuannya datang pagi-pagi sekali seperti ini itu biar nggak ketemu pak Agam.

Jinan mana punya nyali ketemu pak Agam lagi, atau lebih tepatnya Jinan nggak mau sakit lagi.

Tok Tok

Jinan dan pak Pramana langsung menatap pintu ruangan itu, Jinan seketika berdegup kencang dengan perasaan tak enak.

Pak Praman tersenyum, ia kemudian berikan ijazah Jinan yang sudah terbalut map berwarna biru tua itu padanya.

“Nih, kamu boleh keluar sekalian bukain pintu untuk tamu saya itu ya?”

Jinan mengangguk lalu bangkit dari duduknya, “makasih waktunya pak Pramana, saya pamit…” ucapnya sambil membungkuk sopan.

Pak Pramana tersenyum, menatap Jinan yang belalu pergi kearah pintu ruangannya.

Sementara itu Jinan dengan jantungnya yang berdebar berusaha raih knop pintu itu dan membukanya.

Klek

Tububnya seketika membeku saat dapati pak Agam berdiri didepan sana dengan nafas memburu dan keringat yang bercucuran seperti habis berlari.

Ia tatap wajah pucat pak Agam juga dengan tubuh pria itu yang menjadi fokusnya sekarang.

Benara pak Pramana bilang, pak Agam tampak lebih kurus dengan rambut yang mulai panjang. Sangat berbeda dengan pak Agam yang dulu, berpenampilan bagus dengan rambut yang rapi.

“Jinan..”

Jinan kalut saat pak Agam panggil namanya, sudah lama sekali ia tak dengar panggilan yang sangat ia rindukan itu.

Lehernya terasa sakit bak tercekik, buat ia tak sanggup keluarkan suara sama sekali.

“Tolong kasih saya kesempatan untuk bicara sama kamu, setidaknya terakhir kali.” Ucap pria itu dengan penuh harap.

Belum sempat Jinan menjawab, ia dikejutkan dengan pak Agam yang tiba-tiba mual sambil menutup mulutnya.

Jinan dengan cepat bawa pak Agam ketoilet agar pria itu bisa memuntahkan isi perutnya disana.

Huek.. huek…” pak Agam mencengkram pinggiran toilet dengan erat, sementara Jinan dengan telaten mengusap punggungnya dengan lembut.

Setelah dirasa puas, pak Agam pun langsung terduduk lemas dengan wajah pucatnya, buat Jinan menatapnya khawatir.

“Saya cari minum dulu pak — ” belum selesai Jinan bicara, tubuhnya langsung ditarik pak Agam kedalam pelukannya.

Aroma mint segar seketika menyeruak dari pria itu, buat Jinan berdegup kencang. Aroma khas pak Agam yang sangat ia rindukan.

Jantungnya berdegup kencang dengan tubuh yang membeku dipelukan pak Agam.

“Kamu kemana aja Jinan, saya rindu…” ucap Pria itu sukses buat Jinan tertegun dengan pandangannya yang mulai memburam.

Matanya sudah berkaca-kaca, siap menumpahkan bulir-bulir bening dari sudut matanya.

Jinan juga rindu, rindu dipeluk seperti ini oleh pak Agam. Namun ingatan saat mereka bertemu dirumah sakit kala itu buat dada Jinan terasa nyeri.

Ia tak boleh begini, pak Agam sudah beristri. Ia tak ingin menghancurkan kehidupan orang lain demi kebahagiaannha sendiri.

Ia lepaskan dirinya dari pelukan pak Agam tanpa menatap wajah pria itu, buat pak Agam terkejut dengan wajah sendunya.

“Nggak boleh kayak gini pak, bapak udah punya istri… dan mau punya anak.” Ucap Jinan sambil menegaskan dikata terakhir.

“Jinan ada satu lah yang harus saya jelaskan ke kamu.” Ucapnya.

Jinan menggeleng sambil tersenyum, “nggak perlu dijelasin pak, saya ngerti kok. Yang kita lakuin dulu cuma sebatas senang-senang semata, saya nggak nuntut apapun tentang itu.” Ucapnya sambil tersenyum dengan hati yang sakit.

“Kamu perlu tau ini Jinan, saya belum menikah sama sekali, dan perempuan itu bukan istri saya.” pak Agam berucap dengan serius namun Jinan terkekeh pelan, ia membuang pandangannya kesamping tak ingin menatap wajah pak Agam.

Bukan istri, tapi tunangan kan. Bukannya itu sama aja.

“Anak yang diperut perempuan itu juga bukan anak saya Jinan, saya nggak menghamili siapapun.” Ucapnya.

Jinan menghela nafasnya panjang, ia ingin sekali tertawa dihadapan laki-laki itu, tak menghamili siapapun katanya.

“Bapak cuma nggak sadar.” Ucapnya buat pak Agam menatapnya dengan tatapan bingung.

“Apa maksud kamu Jinan?”

Jinan menggeleng pelan, ia tatap wajah pak Agam lalu tersenyum kecut.

“Udah ya pak, saya capek. Saya mau pulang.”

“Kamu nggak percaya sama saya Jinan?” Tanya pak Agam tak percaya.

Jinan bungkam sebagai jawabannya, buat pak Agam menatapnya dengan tatapan kecewa. Padahal cuma Jinan harapan terakhirnya, ia kira Jinan akan percaya dengannya namun kenyataannya Jinan sendiri pun tak mempercayainya.

“Saya harap ini terakhir kalinya kita bertemu ya pak, tolong jangan hubungi saya lagi, jangan cari saya lagi. Kita jalani hidup kita masing-masing tanpa saling ganggu satu sama lain. Tolong lupain apa yang pernah kita lakuin dulu, anggap saya mahasiswa biasa kayak mahasiswa yang lain. Saya pamit, selamat tinggal pak…” ucap Jinan dengan susah payah.

Ia kemudian berbalik meninggalkan pak Agam yang membeku menatap kepergiannya disana, tenggorokkannya tercekat sakit menahan tangis yang sudah lama ia bendung.

“Jinan?”

Jinan mendongak, menatap Raihan dihadapannya. Raihan yang tampak baru selesai ambil ijazahnya dari ruangan pak Pramana.

“hey, lu kenapa?”

Jinan menggeleng, disusul dengan bahunya yang bergetar. Tangisnya seketika runtuh buat Raihan terkejut dan dengan sigap membawa pria itu kedalam pelukannya.

“Sakit Rai.. hichhh.. sakit..mau pulang…” lirihnya.

Raihan bingung, namun dengan lembut ia usap punggung Jinan sambil mengecupi puncak kepalanya agar anak itu lebih tenang.

Namun siapa sangka hal itu dilihat oleh pak Agam yang niatnya ingin mengejar Jinan, Pria itu tersenyum kecut menatap Jinan yang tengah dipeluk oleh orang lain.

“Rupanya sudah punya pacar..” gumamnya dengan sendu.

Pak Agam menghela nafasnya panjang, entah mengapa pak Agam merasa kecewa dan sedih. Namun ia berusaha tegar, mengatur ekspresinya dan berjalan melewati Jinan dan laki-laki lain itu tanpa memedulikannya, seolah tak melihat apa-apa.

No responses yet