Dengan perasaan bimbangnya, pak Agam masih perhatikan Jinan dari kejauhan. Melihat gerak-gerik anak itu yang tengah berjalan tanpa alas kaki dengan perut besarnya, entah mengapa terlihat sangat lucu hingga tanpa sadar sudut bibir pak Agam naik keatas.
Pagi itu suasana masih sangat sepi, hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang. Atau mungkin karna hari ini bukanlah hari libur.
Pak Agam diam-diam mengikutin Jinan dari belakang, tak lupa menutupi penampilannya dengan topi, kacamata hitam, juga masker.
“Ah.. berat juga kamu dek” Jinan nampak berhenti sejenak memegangi pinggangnya yang terasa pegal.
Kemudian ia melihat kesana dan kemari mencari sebuah bangku kosomg untuk ia duduki.
“Duduk dulu ya dek, papa capek…” monolognya sambil mengusap permukaan perutnya yang sudah membesar.
Ia lalu berjalan dengan langkah kecilnya menuju sebuah bangku ditaman itu, sementara pak Agam terus mengikutinya dari belakang.
Tak ada rasa curiga sedikitpun dibenaknya sebab ia kira pria yang berpenampilan tertutup itu hanyalah turis biasa.
“Aaahh… akhirnya duduk juga…” ucapnya lega sambil menyandarkan punggungnya dibangku itu.
Tak ingin dicurigai pak Agam langsung membalikkan tubuhnya sambil mengeluarkan kameranya, seolah-olah ingin mengambil gambar disana.
“Aakhhh…” Jinan nampak sedikit meringis saat merasakan ngilu dibagian perutnya, buat pak Agam sedikit meliriknya dengan khawatir.
“Kamu gerak mulu dek, emang nggak capek?” Jinan tersenyum sambil mengusap perutnya.
“Kamu bentar lagi mau lahir, tapi papa belum punya nama buat kamu.. papa bingung deh..”
Pak Agam tersenyum, ia kemudian mengambil langkah menuju salah satu bangku yang bersebelahan dengan bangku Jinan.
Jinan nampak termenung menatap burung-burung yang hinggap diranting pohon, sambil terus mengusap perutnya.
“Apa papa kasih kamu nama kayak nama ayah kamu aja ya?” Gumamnya, buat pak Agam makin penasaran dengan nama yang akan Jinan berikan untuk anaknya itu.
“Ayah kamu itu baik kok dek, pinter, ganteng, walaupun agak sedikit brengsek.” Ucapnya lagi buat pak Agam tertegun.
“Coba aja papa tau kalo ayah kamu udah punya istri… tapi, kalo papa tau itu dari awal, kamu nggak akan pernah ada..”
Pak Agam terkejut mendengarnya, Jinan dihamili oleh pria yang sudah beristri?
Rahangnya seketika mengeras, tangannya sontak mengepal kuat. Entah mengapa pak Agam merasa kesal.
Terdengar helaan nafas panjang dari Jinan, “ayah kamu pun nggak tau, kalo kamu ada diperut papa.. papa takut buat ngasih tau ayah kamu, apa nggak mau nyakitin hati istrinya yang juga lagi hamil…”
Pak Agam terkejut bukan main mendengar hal itu, sungguh malang nasib Jinan. Anak itu berjuang sendirian sisaat kehamilannya selama ini, tanpa didampingi sosok suami. Pasti sangat berat.
Memikirkan hal itupun cukup buat dada pak Agam sedikit nyeri.
“Dek kalo suatu saat kamu tau kalo nama kamu itu kombinasi dari nama ayah sama papa, jangan marah ya. Soalnya papa harap kamu bisa pinter dan ganteng kayak ayah kamu, terus bisa kuat atau lebih kuat lagi dari papa sekarang…” ucapnya lirih.
Jinan nampak tersenyum, ia tatap perut buncitnya itu sambi mengusapnya dengan lembut.
“Gamaliel Kharee, Gama… Agam…” Jinan terkekeh pelan, bayangkan wajah pak Agam dengan kacamatanya.
“Agam? Saya?” Gumam pak Agam bingung.
“Kamu harus tau, papa sama ayah dulu ketemu karna ayah kamu jadi dosen pembimbing skripsi papa.” Ucap Jinan sambil tertawa pelan.
Sementara pak Agam membeku dengan perasaan terkejut bukan main, tak pernah terfikirkan olehnya kalau selama ini Jinan mengandung anaknya.
Pak Agam menoleh kearah Jinan dan menatap anak itu lekat.
Jinan yang merasa ditatap oleh pria asing disebelahnya itu pun ikut menoleh, sebab ia sedikit risih ditatap seperti itu.
Tanpa bersuara sedikitpun, pak Agam buka topi yang menutupi kepalanya, lalu melepas masker dan kacamata hitam yang ia pakai.
Jinan seketika membeku, saar mendapati pria asing yang duduk diseberangnya itu adalah pak Agam, ayah dari anak yang tengah ia kandung itu.
“P-pak Agam…” tubuhnya gemetar dengan jantung yang berdegup kencang.
Pak Agam menegup ludahnya kasar, dengan tenggorokan yang terasa tercekat sakit, ia paksakan tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca.
“Jadi ini alasan kamu pergi dari saya, Jinan?”
Belum sempat Jinan menjawab, tiba-tiba ia merasakan sakit luar biasa diperutnya. Jinan meringis tanpa suara sambil memegangi perutnya.
Namun semakin ditahan, perutnya semakin terasa sakit, buat Jinan tak bisa menahannya lagi.
“Aaakhhhh… s-sakit…”
Pak Agam dengan cepat mendekat kearahnya dengan perasaan paniknya.
“Atur nafas Jinan, saya hubungi ambulance sekarang..” ucap pak Agam sambil mengeluarkan ponselnya dan menelfon pusat layanan setempat untuk membawa Jinan kerumah sakit.
“Sakit… akhhh… sshh sakit pakhh!!” Jinan cengkram bangku kayu yang ia duduki itu kuat sambil terus meringis kesakitan.
Pak Agam yang panik pun terus memintanya untuk mengatur nafas dan tenang agar rasa sakitnya bisa berkurang, namun hal itu mustahil untuk dilakukan sebab rasa sakitnya sudah tak bisa ditahan lagi.
Jinan tiba-tiba merasakan ada sesuatu yang keluar dari tubuhnya, hingga buat celana yang ia kenakan basah kuyub.
“Haaahh… pecah… udah pecahh!” Paniknya mengetahui kantung ketubannya sudah pecah, pertanda Jinan akan segera melahirkan.
“Hah? Kamu — Jinan kamu mau melahirkan!” Ucap Pak Agam dengan wajah paniknya, saking paniknya wajah pak Agam berubah menjadi pucat.
Untungnya ambulance datang dengan cepat, Jinan pun dibawa kerumah sakit terdekat untuk melakukan proses persalinan dengan pak Agam bersamanya.
“Sakit… hichhh.. sakithhh” Jinan terus merintih sakit, sementara pak Agam terus berada disampingnya, menggenggam tangannya erat sambil mengusap surainya lembut.
“Saya disini Jinan, saya nggak akan biarin kamu pergi lagi, kamu nggak sendiri lagi.. tolong lebih kuat, demi anak kita.”
“Biarin saya masuk! Saya ibunya!” Bentak wanita parubaya itu pada seorang perawat yang tengah menjaga pintu ruang bersalin itu.
Nafasnya meburu dengan jantung yang berdegup kencang, ia sungguh takut terjadi apa-apa dengan putra sematawayangnya itu.
“Maaf ibu, pasien masih dalam proses bersalin dan hanya boleh ditemani oleh satu orang..”
“Makanya biarin saya masuk, saya yang temanin anak saya!” Ucapnya kesal.
“Maaf ibu, tapi pasien sudah ditemani oleh suaminya, ibu bisa menunggu disini sebentar sampai proses bersalinnya selesai.”
Wanita itu terkejut, suami? Apakah yang dimaksud dengan suster ini adalah Raihan? Namun detik kemudian wanita itu kembali dibuat terkejut dengan kedatangan Raihan dengan wajah cemasnya.
“Gimana Jinan? Dimana dia?” Tanya Raihan.
“Loh, tante pikir kamu yang temani Jinan didalam!”
“Loh? Sus, pasien sendirian didalem?” Tanya Raihan.
“Sudah bersama suaminya tuan.”
Raihan dan ibunda Jinan saling menatap bingung, apa maksudnya suami? Jelas Jinan tak memiliki suami selama ini, lalu siapa yang menemani anak itu bersalin didalam.
Namun dengan cepat Raihan langsung tenangkan ibunda Jinan sebelum wanita itu kembali memaksa masuk.
“Kita tunggu disini dulu, kita percayain semuanya sama dokter. Kita sama-sama berdo’a semoga Jinan sama bayinya sehat didalem sana.” Ucap Raihan.
Wanita itu luluh, lalu merebahkan dirinya dikursi tunggu didepan ruangan itu.
Sementara itu didalam sana, Jinan mati-matian menahan rasa sakit yang semakin bertambah diperutnya.
“Atur nafas kamu Jinan, jangan tegang.. kalau kamu tegang akan terjadi robekan dijalan lahir..” ucap sang dokter dibawah sana.
Jinan menggenggam tangan pak Agam erat sambil menatap mata pak Agam ketakutan, tak ia sangka melahirkan akan sesakit ini.
“Pak Agam.. hichhh…” lirihnya sambil menangis.
“Sstt… saya disini Jinan, saya disini untuk kamu…” ucapnya sambil menciumi tangan Jinan yang ia genggam.
Pak Agam sama takutnya, sama gugupnya. Perasaan terkejutnya pun belum usai, namun dibuat semakin terkejut saat Jinan akan melahirkan bayinya.
Jinan terus menrintih kesakitan, “sakithhh…”
Pak Agam menegup ludahnya kasar, jantungnya berdebar kencang. Perasaan gugup bercampur takut mulai menghantuinya, ia takut terjadi sesuatu pada Jinan, ia takut Jinan benar-benar akan pergi dari hidupnya.
“Jinan, kamu tatap saya aja oke? Kamu boleh pukul saya atau lakuin apapun yang kamu mau, atau kamu boleh jambak rambut saya..” pak Agam tuntun kedua tangan Jinan keatas kepalanya.
“T-tapi.. AAAKHHH!!” Jinan berteriak kencang saat merasakan sesuatu yang besar ingin menerobos keluar dari lubang sempitnya.
Rasanya sungguh sakit, sampai Jinan tanpa sadar mencengkram rambut pak Agam kencang.
Pak Agam menggigit bibirnya kuat, menahan ringisannya agar tak keluar saat Jinan terus menjambak rambutnya kencang.
Ia peluk tubuh Jinan sambil ia usap dada anak itu pelan agar anak itu lebih tenang.
“Ayo Jinan, tarik nafas yang panjang… iyaa… terus…”
“Ayo Jinan, kamu pasti bisa..” bisik pak Agam.
Jinan mengangguk cepat sambil mengcengkram rambut pak Agam kuat, buat rahang pak Agam mengeras menahan sakit dikepalanya.
Namun baginya sakit itu bukanlah apa-apa dibandingkan dengan sakit yang tengah Jinan alami sekarang.
“Saat saya bilang hembuskan, hembuskan sambil dorong, oke?”
Jinan mengangguk cepat.
“Hembuskan!”
Remasannya pada rambut pak Agam semakin kuat diiringi dorongan kuat yang ia lakukan bersamaan dengan hembusan nafas panjang.
“AAAAAKHHHH!!” Jinan memekik kencang sambil terus mendorong bayinya untuk keluar.
Tak lama kemudian suara tangis bayi terdengar kencang memenuhi seluruh penjuru ruangan bersalin itu, Jinan berhasil melakukannya. Ia berhasil melahirkan seorang bayi laki-laki dengan bobot 4 kg.
Cengkramannya pada rambut pak Agam melemah, ia bernafas lega dengan tubuh lemasnya.
“Kamu berhasil Jinan, kamu berhasil…” pak Agam peluk tubuh lemas itu dengan erat sambil menciumi pucuk kepala Jinan dengan lembut.
Tangis haru tak dapat lagi dibendung, pak Agam genggam tangan yang lebih muda lalu menciuminya dengan bangga.
“Maafin saya.. maafin saya..” lirihnya sambil menatap wajah lemas Jinan.
Tak bisa ia bayangkan bagaimana kesusahannya Jinan selama ini mengandung sendirian tanpa dirinya.
“Maafin saya juga, nggak kasih tau bapak…”
Keduanya sama-sama menangis, Pak Agam usap pipi basah Jinan lalu ia cium dahinya dengan lembut, buat Jinan semakin menangis.
Tak pernah ia bayangkan kalau ia akan bersalin ditemani oleh pak Agam langsung seperti ini, entah memang kebetulan atau memang takdir yang ingin kembali mempertemukan mereka.
Tak lama kemudian, seorang perawat datang menghampiri keduanya dengan seorang bayi mungil digendongannya.
Pak Agam dan Jinan saling menatap, kemudian terkekeh pelan.
Perawat itupun meletakkan bayi kecil itu diatas dada Jinan, membiarkan Jinan untuk memeluk buah hatinya sejenak.
Pak Agam tersenyum menatap bayi yang ia yakini darah dagingnya itu, ia usap pipi bayi itu pelan.
“Gamaliel Kharee, bukan? Namanya cantik, saya suka.” Ucap pak Agam.
Jinan mengangguk pelan, menatap bayi yang tengah tertidur pulas diatas dadanya itu. Ia tak menyangka bayi kecil ini benar-benar lahir dan berada dipelukannya sekarang.
Tangan mungil itu tampak mengepal kuat seakan-akan ingin menggenggam seluruh dunia ditangannya.
Tangan pak Agam tiba-tiba terulur mengelus surai Jinan lembut, “yang kamu kira itu semuanya nggak benar Jinan, saya belum punya istri. Apalagi menikah.” Ucapnya.
Jinan sedikit tersentak, lalu tersenyum kecut menatap bayi kecil dalam pelukannya itu.
“Tolong percaya saya, saya bisa buktikan kalau anak yang dikandungan perempuan itu bukan anak saya. Tolong kasih saya waktu, ketika anak itu lahir nanti, akan saya lakukan tes DNA.” Jelas pak Agam.
Jinan menghela nafasnya pelan, ia tatap wajah pak Agam “bapak nggak mau tes DNA sama anak ini juga, siapa tau anak ini bukan anak pak Agam.” Ucapnya sarkas.
Pak Agam menggeleng, ia raih sebelah tangan Jinan lalu ia genggam erat.
“Saya nggak perlu lakuin itu keanak kita, karna saya sadar waktu saya bikin nya.” Ucapnya, buat pipi Jinan seketika bersemu merah.
“E-emang pak Agam nggak sadar ngelakuin yang kayak gitu sama perempuan itu?” Tanya Jinan.
Pak Agam menggelengkan kepalanya, lalu menceritakan semua kebenaran dari sudut pandangnya pada Jinan.
Jinan terkejut bukan main, ternyata selama ini pak Agam sepertinya dijebak oleh wanita ular itu. Jinan seketika kesal, namun kemudian ia hanya bisa menghela nafasnya pelan.
Tentu saja ia tak akan mudah percaya begitu saja, siapa tau pak Agam berbohong padanya?
“Tolong kasih saya waktu untuk membuktikannya, saya yakin anak itu bukan anak saya.” Ucapnya.
“Kalaupun sejak awal nggak ada wanita itu, apa pak Agam mau tanggung jawab sama saya?” Tanya Jinan tiba-tiba.
Pak Agam tersenyum, ia ciumi tangan Jinan yang ia genggam sambil mengangguk.
“Penyesalan terbesar saya sekarang adalah nggak sadar sama kehamilan kamu dan biarin kamu hamil sendirian, tentu saja saya sangat mau tanggung jawab.” Ucapnya.
Jinan tersenyum, ia pun juga merasa bersalah sebab tak memberi tahu tentang kehamilannya sejak awal pada pak Agam.
“Saya tunggu buktinya, pak Agam.” Ucapnya.
Pak Agam mengangguk pelan sambil tersenyum, lalu ia cium dahi Jinan dengan lembut.
Tak lama kemudian dokter yang tadinya membantu proses persalinan Jinan datang dengan seorang perawat. Perawat itu nampak dengan hati-hati mengambil bayi kecil itu dari pelukan Jinan.
“Gimana Jinan, rasanya peluk bayi kecil yang selama ini nendangin perut kamu?” Tanya dokter itu sambil terkekeh.
“Nggak bisa dijelasin pakai kata-kata, sangat luar biasa.” Ucapnya.
Si Dokter hanya mengangguk sambil tersenyum, “mama kamu udah nunggu diluar sama beberapa temen kamu, kamu mau istirahat dulu atau langsun temuin mereka?” Tanya sang Dokter.
Belum sempat Jinan menjawab, pak Agam sudah tentukan jawabannya duluan.
“Istirahat dulu, biar saya aja yang temuin mereka.” Ucap pak Agam.
Jinan menatap pak Agam khawatir, sebab entah mengapa perasaannya tak enak sekarang.
“Pak Agam yakin?” Tanya nya.
Pak Agam mengangguk mantap, pria itu sudah siap dengam segala konsekuensi yang akan ia hadapi, caci maki atau pukulan, ia akan terima asal Jinan bisa bersamanya nanti.
“Tolong janji, jangan pernah lari dari saya lagi.” Ucap pak Agam.
Jinan mengangguk, lalu tubuhnya direngkuh kedalam pelukan oleh yang lebih tua.
“Saya sayang kamu, Jinan.” Bisiknya, buat Jinan seketika berdegup kencang.
Lalu pria itu pun berjalan kearah pintu ruangan itu sambil melambaikan tangan padanya, hingga wajahnya tak terlihat lagi.
Jinan menghela nafasnya pelan, ia bersyukur setidaknya ia dan pak Agam sudah temukan jalan keluar, dan kini keduanya tinggal menyerahkan semuanya pada takdir.
Akankah takdir menyatukan mereka kambali?
BUGH! BUGH!
Pukulan demi pukulan pak Agam rasakan, Bayu tak dapat membendung emosinya lagi saat melihat pak Agam keluar dari ruangan bersalin itu.
“Bayu udah Bay!” Gathan menarik pria itu berusaha memisahkannya dari pak Agam.
Suasana ricuh menyelimuti koridor rumah sakit, semuanya terkejut saat Bayu tiba-tiba melayangkan pukulan pada pria itu.
“Bayu!”
Bayu mengusap wajahnya kasar, menatap penuh benci pada laki-laki yang dulu menjadi dosennya itu.
“Buat apa dateng sekarang, hah?! Telat pak, telat!” Bentak Bayu.
Pak Agam meringis kesakitan, seraya bangkit dengan dibantu Raihan. Seluruh wajahnya memar, dengan sudut bibir berdarah.
“Bayu, apa maksud kamu?” tanya ibunda Jinan dengan wajah terkejutnya.
“Dia, dia ini dosen pembimbing skripsinya Jinan, dia juga yang bikin Jinan hamil!” Ucap Bayu menunjuk pak Agam dengan tatapan bencinya.
Ia tak peduli pak Agam pernah menjadi dosennya dulu, ia benar-benar hilang hormat dengan pria itu.
Ibunda Jinan terkejut bukan main, ia tatap pak Agam dari atas hingga bawah lalu menamparnya dengan keras.
PLAK!
Panas dan perih pak Agam rasakan, namun ia tak ingin melawan sama sekali.
“Kamu, kamu yang ngancurin hidup anak saya! Berani-beraninya datang kesini! Selama ini kemana saja kamu, hah?!”
Belum pak Agam jawab, tapi Bayu sudah menyerobot duluan, “udah punya istri yang juga hamil kayak Jinan.” Ucapnya.
Bayu seakan-akan menjadi korek yang membakar sumbu amarah ibunda Jinan.
“Kurang ajar! Saya nggak akan tinggal diam! Saya akan bawa masalah ini kejalur hukum, saya pastikan hidup kamu lebih hancur dari pada hidup anak saya!”