“Eh, kamu bukannya Java kan? Model terkenal itu?”
Java sedikit tersentak saat ada seorang staff menyadari kehadirannya. Java mengangguk dengan canggung, walaupun agak tak menyangka kalau dirinya dijuluki model terkenal.
“Waahh… kamu lebih cantik kalo diliat langsung ya.” Puji Staff wanita itu, buat Java terdiam tak tau harus bereaksi bagaimana.
“Ini masih lama ngga, saya juga punya urusan yang lain.” Ucap Hansel jengah sebab sudah 2 jam lamanya mereka menunggu disana.
Java meringis, baginya 2 jam bukan apa-apa sebab dulu saat ia ingin melakukan pemotretan seperti Hansel, ia bisa menunggu sampai 8 jam lamanya.
“Maaf, dia bentar lagi sampai kok. Saya bisa jamin.” Ucap staff tersebut.
Hansel berdecak pelan, “dari tadi juga bilangnya begitu, ini udah 2 jam loh nungguin photograpernya. Emang kalian ga ada photograper yang lain?”
Suasana tampak sedikit memanas, bahkan staff pun tak berani menjawab dan hanya bisa menunduk. Java tau ini semua diluar kendali para staff, maka ia pun langsung menenangkan Hansel dan menyuruh pria itu untuk duduk dan menunggu sejenak.
“Makasih ya… udah nenangin kak Hansel. Jujur hari ini juga hari pertama saya kerja, jadi saya gak bisa bertindak banyak.”
Java mengangguk sambik tersenyum, “it’s okay, dia aslinya baik kok, jangan takut sama dia.”
Staff itu mengangguk pelan.
Java tiba-tiba merasa ingin buang air kecil, ia menoleh kesana kemari untuk mencari letak keberadaan toilet.
“Euh, kamu tau toilet dimana?” Tanya Java.
“Ah, kamu keluar dari ruangan ini nanti belok kekanan terus lurus aja, toiletnya ada persis dideket tangga.”
“Oke, makasih ya.” Ucapnya, lalu langsung bergegas menuju toilet tersebut, meninggalkan ruang studio yang tampak senyap itu.
Tok Tok
Semua orang didalam studio itu menatap kearah sumber suara dan mendapati seorang pria dengan sebuah kamera ditangannya.
Ah, ternyata sitokoh utama akhirnya datang.
“Maaf semuanya.” Ucapnya membungkuk sopan.
Hansel mengerutkan keningnya ketika melihat pria itu, ia merasa tak asing, namun kemudian ia menyadari siapa pria itu.
“Seth?” Pria itu membungkuk sopan kearahnya.
Seth, pria yang beberapa hari lalu menolong sepupunya saat hujan deras.
“Maaf saya terlambat..” ucapnya formal.
“Ah, santai gapapa… anyway thanks ya udah nolongin Java waktu itu, gua belum sempet bilang tapi lu udah ngilang.”
“Oh… sama-sama.” Jawabnya singkat.
Kemudian mereka semua segera bergegas menyiapkan tempat pemotretan serta costum yang akan Hansel pakai.
Slahs! Slash! Slash!
Kilap cahaya dari flash kamera terus memancar saat Hansel berganti pose. Java yang baru saja kembali dari toilet itu memilih untuk duduk dipinggir, memperhatikan bagaimana semua orang bekerja disana.
Sampai ketika matanya menangkap salah seorang yang beberapa hari ini menghantui pikirannya.
“Dia photograpernya?” tanya nya pada seorang staff wanita.
Berlyn, staff wanita itu mengangguk sambil tersenyum lebar.
“Iya, dia kak Seth photograper terkenal disini. Semua hasil fotonya bagus banget, gak pernah bikin kecewa.” Ujar Berlyn buat Java jadi penasaran dengan hasil potret laki-laki itu.
“Tapi sayangnya kak Seth ini pemilih, gak mau sembarangan ambil job. Makanya kita kekeuh minta kak Hansel buat nungguin kak Seth, karna ya itu, kita udah susah payah buat bujuk kak Seth biar mau kerja sama.” Jelas perempuan dengan rambut pendek itu.
Java mengangguk paham namun rasa penasarannya menjadi semakin besar, sebagus apa hasil potret dari laki-laki itu.
“Tolong, agak kekiri.” Titah laki-laki itu pada Hansel yang tengah berpose.
“Pas.” Ucapnya lagi lalu flash kembali menyala.
“Tuhan bilang kamu boleh ikut aku sekarang.”
“Tuhan bilang kamu boleh ikut aku sekarang.”
“Tuhan bilang kamu boleh ikut aku sekarang.”
Lagi-lagi Java mendengar suara itu, suara yang sering menghantui mimpinya. Telinganya berdenging, buat kepalanya sakit.
Ia lantas memijat pangkal hidungnya lalu bergegas keluar dari ruangan studio itu, memilih untuk mencari udara segar untuk menenangkan pikirannya.
“Oke, kita break dulu bentar. Berlyn tolong kesini bentar.”
Semua staff distudio kini sibuk melakukan persiapan untuk photoshoot berikutnya, sementara Seth masih sibuk dengan kameranya, melihat beberapa hasil potretnya.
Namun didalam sana terlalu berisik, Seth butuh tempat yang tenang. Maka ia pun berinisiatif untuk meminta izin pada salah seorang staff untuk keluar dari ruangan studio sejenak.
Klek
Knop pintu tampak terbuka, suasana terlihat begitu tenang diatas sana. Seth berjalan keluar menuju Rooftop studio itu, untungnya suana siang itu tak begitu terik, cerah namun berawan.
Namun ditengah ketenangan itu, ada salah satu objek mencuri perhatiannya.
Seth berjalan mendekat dengan kamera ditangannya, lalu mengarahkan kameranya pada objek tersbut.
Cekerek!
“Akh!” Java tersentak kaget saat mendengar suara dari kamera itu.
Seth hanya diam, pria itu kembali fokus dengan kameranya, melihat hasil potretnya.
“Gak sopan.” Ucap Java kesal.
Seth pun mengalihkan perhatiannya, melihat bagaimana raut kesal Java menatapnya. Ia hanya terkekeh, kemudian mengulurkan tangannya kearah Java.
“Seth.” Ucapnya memperkenalkan diri.
“Udah tau.” Jawab Java ketus sambil mengalihkan pandangannya.
Seth yang merasa diacuhkan hanya tersenyum canggung lalu kembali menarik tangannya yang tak disambut oleh pria manis didepannya itu.
Seth pun ikut duduk disebuah ayunan, tepatnya disebelah Java. Lalu kembali mengotak-atik kameranya, melihat hasil photoshoot yang ia lakukan.
“Udah baikan?” Tanya nya basa-basi.
Java mengerutkan dahi nya, ternyata laki-laki ini masih ingat padanya.
“Hmm..” sautnya pelan.
Seth melirik sejenak lalu kembali mengalihkan atensinya pada kameranya.
“Makasih ya, udah nolongin aku waktu itu.” Ucapnya pelan.
Seth terkekeh, mengingat bagaimana saat itu pria itu menyuruhnya pergi namun kemudian tak sadarkan diri.
“Iya.” Jawabnya singkat.
Kemudian keduanya diam, dengan Seth yang sibuk dengan kameranya sementara Java hanya duduk diam menikmati suasana tenang sambil sesekali melirik kearah pria itu.
“Katanya kamu photograper terkenal ya disini.” Tanya Java basa basi.
“Siapa yang bilang?”
“Ada tadi, cewek yang rambutnya sebahu, katanya hasil foto kamu selalu bagus.” Jawabnya.
Seth mengangguk paham, “saya nggak pernah merasa saya terkenal, mungkin itu cuma pendapat dari klien klien yang pernah pakai jasa saya.” Ucapnya.
Java mendecih pelan, tuturan yang Seth lontarkan lebih terdengar angkuh ditelinga nya.
Kalau anak jaman sekarang bilang, istilahnya ‘merendah untuk meroket’
“pasti banyak yang sebel juga sama kamu, soalnya pilih-pilih klien”
Seth terkekeh, ternyata Berlyn banyak membeberkan tentang dirinya pada pria manis itu.
“Saya cuma mau foto objek yang menurut saya indah aja, saya gak mau sembarangan foto. Nanti hasilnya nggak maksimal.” Jelasnya.
Mendengar penjelasan itu sontak membuat Java sedikit tertampar, ia teringat dengan masalah yang tengah ia alami sekarang.
“Bener ya kata orang, mau sebagus apapun kamera sama photografernya, kalo objeknya jelek hasilnya pasti jelek.”
Seth langsung mengalihkan atensinya, ia menyadari perubahan mimik wajah pria manis itu. Namun ia juga tak tahu harus memberikan respon seperti apa, karna Seth bukanlah tipikal pria yang bisa memberikan kata-kata manis.
“Kak Seth! Semuanya udah siap!!” Teriak Berlyn yang tiba-tiba muncul dari balik pintu rooftop.
Keduanya tersentak, kemudian menoleh kearah sumber suara.
“Sana, kamu udah ditungguin mr. Photographer.” Ucap Java dengan nada sedikit menggoda, buat Seth terkekeh.
Seth pun beranjak dari duduknya, kemudian merapikan kemejanya yang terlihat sedikit lusuh itu.
“Saya duluan kalo gitu, kamu jangan lama-lama disini, nanti masuk angin.” Ucapnya.
Java mengangguk sambil tersenyum, hingga Seth berjalan mundur namun masih menghadap kearahnya sambil melambaikan tangan.
“Janji sama aku kamu ga akan nangisin aku lagi…”
Jantung Java seketika berpacu kencang saat mendengar suara yang berbisik halus ditelinganya. Pun bayangan laki-laki yang sering datang dimimpinya terlihat samar-samar ikut melambai bersamaan dengan kepergian Seth tadi.
“Apa ini…”