Eren
8 min readDec 7, 2024

regret and sweet

Keesokan harinya Jerremy benar-benar menjemput keponakannya itu, bersama dengan Shion ia tunggu jam pulang keponakannya itu hingga tak lama kemudian bel sekolah terdengar, menandakan proses belajar mengajar telah usai.

Jerremy sudah siap berdiri menanti keponakannya itu, sementara Shion menunggu didalam mobil. Maklum, ia tak bisa leluasa bergerak sekarang sebab ia sangat mudah kelelahan.

Tak lama kemudian Jerremy bisa lihat keponakannya itu berjalan keluar dengan wajah lesunya, buat Jerremy sedikit tertegun dan merasa kasihan dengan anak itu.

“Buba?”

“Hari ini pulang sama Buba ya? Baba lagi sibuk, terus Dadda lagi nggak sehat…” ucap pria itu lembut, buat anak itu mengangguk lesu.

Jerremy pun buru-buru membawa anak itu masuk kedalam mobil.

“Loh Bubu ikut juga?”

Shion tersenyum lebar, “maaf ya Bubu nggak bisa keluar buat jemput kamu sayang…”

Anak itu tersenyum, namun Shion tau senyum itu bukanlah senyum yang biasanya anak itu berikan.

Tak lama kemudian Jerremy pun menyusul masuk dan melajukan mobil mereka menuju rumah sakit tempat Shion biasanya melakukan check up kandungan.

“Gimana sekolahnya sayang?” Tanya Shion basa basi.

“Kayak biasanya, belajar terus makan waktu istirahat.” Jawab anak itu lesu.

Shion tersenyum kecut, anak itu benar-benar terlihat murung. Shion tampak mengelus perut buncitnya pelan sambil menatap kearah anak itu.

“Kamu tau, tadi waktu nungguin kamu pulang, adek cimolnya nendang nendang perut bubu… kayaknya adek cimol tau kalo kakak Zion nya mau ketemu..” ucap Shion mencairkan suasana.

Namun anak itu sama sekali tak bergeming, buat Jerremy menatap anak itu khawatir. Ia paham sekarang mengapa Java sangat khawatir dengan perubahan sikap anak itu.

“Nanti mau beli ice cream? Kamu bebas mau beli berapapun..” bujuk Jerremy.

Anak itu mengangguk pelan, “mau Buba.”

Jerremy tersenyum, “senyum dulu..” titahnya, buat anak itu tersenyum walau nampak terpaksa.

Tak memakan waktu cukup lama, pasalnya jarak tempuh yang tak terlalu jauh dan arus lalu lintas yang cukup lancar buat mereka sampai dirumah sakit.

Zion menatap heran saat dirinya menginjakkan kaki dibangunan rumah sakit, ia bingung. Bukankah tadi Jerremy ingin membelikannya ice cream, lalu mengapa pria itu membawanya kemari.

Jerremy yang paham dengan raut bingung anak itu lantas menggenggam tangannya, “kita anterin Bubu periksa adek cimol dulu ya? Terus baru beli ice cream yang banyak…”

“Oke..”

Walau nampak terpaksa, nyatanya anak itu sedikit bersemangat karna ia begitu penasaran ingin melihat bagaimana rupa bayi saat masih didalam perut.

“Sore tuan Jerremy..”

“Sore.. saya ada janji temu dengan dr.Kennath, beliau ada kan?”

Resepsionis itu mengangguk sambil tersenyum, “ada tuan, tuan bisa segera menemui beliau diruangan biasanya..”

“Baik, terimakasih.. selamat sore..”

Mereka pun mulai berjalan menuju ruangan dokter yang dimaksud, sepanjang jalan Zion tak henti-hentinya meluputkan pandangannya dari Shion.

Pria manis itu tampak kewalahan membawa perut besarnya, namun dengan sigap Jerremy memapah pria itu dengan telaten.

“Kamu capek? Mau duduk dulu sebentar?” Tanya Jerremy.

Shion menggeleng sambil tersenyum, “enggak, tanggung bentar lagi sampe.” Ucapnya semangat.

“Bubu duduk dikursi roda aja ya? Nanti Bubu sakit…”

Jerremy tersenyum, walaupun suasana hatinya tengah tak bagus, nyatanya tak buat anak itu lupa untuk berbuat tangguh.

“Kamu temanin Bubu disini sebentar ya? Biar Buba yang ambil kursi rodanya.” Ucap Jerremy lalu bergegas mengambil sebuah kursi roda yang disediakan oleh rumah sakit.

Zion dan Shion sama-sama duduk disebuah kursi tunggu, Shion tersenyum sambil menggenggam tangan anak itu.

“Apa dulu Dadda kesusahan juga waktu hamil aku?” Tanya anak itu tiba-tiba.

Shion mengangguk, “semua orang kesusahan waktu hamil, tapi mereka nggak ngerasa gitu kok. Mereka justru senang…” ucapnya buat anak itu bingung.

“Senang kenapa? Bukannya hamil itu susah?” tanya nya lagi, buat Shion terkekeh.

“Senang karna mereka sayang sama bayinya. Jadi walaupun mereka capek dan susah mereka nggak akan rasain itu kok..” jelasnya.

Walau bagaimanapun Zion hanya anak kecil, tak mudah buatnya mencerna kata-kata yang dilontarkan oleh orang dewasa itu.

Tak lama kemudian Jerremy datang dengan kursi rodanya, sudut bibir anak itu nampak menyungging keatas.

“Ayo Bubu, hati-hati…” ucap anak itu sambil memapah Shion hingga duduk dikursi rodanya.

Kemudian ia dan Jerremy bersama-sama mendorong kursi roda itu menuju ruangan dokter yang mereka tuju.

“Sore dr. Kennath..” sapa mereka.

Terlihat laki-laki paruh baya dengan stetoskop dilehernya itu tersenyum kearah mereka.

“Loh, tumben ada yang ikut.. siapa ini?” Tanya dokter itu ramah.

Zion tersenyum sambil membungkukkan badannya “halo dr. Kennath.. nama aku Zion..”

“Halo Zion, nice to meet you.. pasti kamu ikut karna mau lihat adik bayi kan?”

Anak itu hanya tersenyum, karna tak mungkin ia jawab dengan jujur kalau ia terpaksa ikut karna Jerremy.

Shion pun mulai berbaring diatas ranjang diruangan itu, ia nampak menyamankan posisinya sejenak.

“Udah mulai serba salah ya baringnya?” Tanya dokter itu sambil terkekeh pelan.

Jerremy mengangguk, “suka pindah-pindah posisi kalau tidur, kayaknya emang nggak nyaman ya dok..”

Dokter itu tersenyum, “wajar kok, namanya udah trisemester akhir…”

Dirasa sudah nyaman, Shion mulai menyingkap bajunya sebatas dada, hanya perlihatkan perut besarnya untuk dilakukan usg.

Zion tampak serius memperhatikan bagaimana perut besar itu diolesi dengan gel hingga rata, kemudian ditempeli dengan sebuah alat yang tampak tersambung ke monitor.

“Buba, itu apa?” Tanya anak itu penasaran.

“Itu namanya ultrasonografi, alat itu tersambung sama monitor disana — ” Jerremy menunjuk pada layar monitor yang tampak masih kosong itu.

“ — nanti kamu bisa lihat adek cimolnya.” Sambungnya.

Anak itu tampak antusias memperhatikan layar monitor yang perlahan tampilkan sebuah gambar yang tak jelas. Ia bingung bercampur penasaran, bagaimana ia bisa lihat penampakan seorang bayi yang masih ada didalam perut.

“Ini kepalanya, lihat… adiknya mancung… ini tangannya nih, mengepal.. terus ini kakinya.. yang suka tendang-tendang perut Bubu nya..” jelas dokter itu.

Anak itu tampak terperangah takjub, walaupun tak lihat jelas wajahnya, namun ia bisa lihat bagaimana bayi kecil itu tampak bergerak-gerak didalam sana.

“Buba lihat… adek cimolnya bangun…” tunjuk anak itu saat lihat pergerakan bayi itu.

Jerremy mengangguk sambik tertawa pelan, “iya Buba lihat, gimana? Zion seneng lihat adek cimol?” Tanya Jerremy.

Anak itu mengangguk dengan semangat, ia semakin tak sabar menantikan kelahiran adik sepupunya itu.

“Berarti kamu juga senang dong kalau nanti lihat ultrasonografi nya adik kamu?”

Ekspresi anak itu seketika berubah drastis, dari yang tadinya sangat bahagia kini mendadak masam.

Jerremy paham, maka ia bawa anak itu untuk keluar dari ruangan itu lalu duduk disebuah kursi tunggu. Ia bersimpuh dihadapan anak itu sambil menggenggam tangannya erat, ia tatap dalam-dalam netra anak itu.

“Kamu masih sedih karna Dadda hamil?” Tanya Jerremy.

Anak itu tak menjawab, buat ia menghela nafasnya pelan.

Jerremy kemudian tersenyum sambil genggam erat tangan anak itu lagi, “kasih Buba alasan kenapa kamu sedih.. Buba janji nggak akan kasih tau siapa pun.”

Mata anak itu nampak berkaca-kaca, lalu bulir bening langsung mengalir dari matanya.

“Dadda jahat, waktu itu Dadda sendiri yang janji nggak akan ada adik, tapi sekarang Dadda hamil…”

Jerremy tersenyum, ia usap pipi basah anak itu, “terus apa alasannya kamu nggak mau punya adik?”

“nggak mau, nanti kalau adik lahir Dadda sama Baba lebih sayang adik dari pada aku.. nanti adik ambil Dadda sama Baba…” anak itu kemudian terisak.

Jerremy lagi-lagi tersenyum seraya mengusap surai anak itu.

“Siapa yang bilang kayak gitu sama kamu?”

“Teman, teman aku yang punya adik bilang begitu…” ucapnya sambil terisak.

Jerremy terkekeh pelan, “Baba sama Dadda kamu kan beda sama mereka… lihat deh selama ini Baba sama Dadda selalu kasih apa yang kamu minta.. selalu turutin apa yang kamu mau… masa kamu mikir Baba sama Dadda nggak sayang kamu..”

Anak itu menggeleng pelan, ia tau Jerremy ingin membujuknya.

“Kamu mau tau? Tapi janji jangan kasih tau siapapun..”

Zion mengangguk pelan sambil mengusap matanya yang basah.

“Dadda itu sayang sekali sama kamu, Dadda sedih kamu nggak mau bicara sama Dadda. Dadda nangis terus…” ucap Jerremy buat anak itu nampak tertegun.

“Dadda sama Baba juga sama kok sama kamu, mereka kaget waktu tau Dadda hamil… tapi nggak mungkin kan mereka hilangin adek bayinya?”

“Adek bayinya nggak salah apa-apa.. Dadda sama Baba juga nggak salah.. adek bayinya datang keperut Dadda karna disuruh tuhan..”

“Coba kasih tau Buba, kalo adek bayinya nolak permintaan tuhan adek bayinya bakal dihukum nggak?” Tanya Jerremy lembut, buat anak itu ikut mengangguk.

“Nah, kamu nggak kasian liat adek bayi kecil — lebih kecil dari adek cimol itu dihukum tuhan?”

Anak itu menggeleng pelan, rasa empatinya sedikit tercubit.

“Adek bayinya nggak punya siapa-siapa… adek bayinya cuma punya Dadda sama Baba.. sama kamu, kakaknya..”

“Buba.. mau pulang.. mau peluk Dadda hichh — mau peluk adik kecil diperut Dadda…”

Jerremy tersenyum, ia berhasil yakinkan anak itu, ia pun mengangguk sambik memeluk anak itu erat.

“Iya, sebentar lagi kita pulang, terus beli ice cream dulu, baru temuin Dadda..”

Anak itu menggeleng pelan, “mau langsung pulang kerumah, mau peluk Dadda.”

“Mana Zion, kok kamu pulang sendiri?” Java menatap kearah suaminya yang baru pulang dari kantor itu dengan bingung.

Seth belum menjawab, ia buka simpul dasi yang menggantung dilehernya itu kemudian beralih kekamar mandi untuk membersihkan diri.

Java menghela nafasnya pelan, sejak kemarin Seth bersikap dingin padanya.

Java memeluk guling seraya menaikkan selimut yang ia pakai hingga sebatas kepala, lalu diam-diam menangis. Entah karna hormon saat masa kehamilan atau Java memang terlampau sedih hingga buatnya sangat mudah menangis belakangan ini.

Ia rindu pelukan hangat yang diberikan oleh suami dan putra kecilnya dipagi hari.

Namun dalam tangisnya, ia tiba-tiba merasakan sebuah tangan terulur mengelus surai legamnya.

“Maaf…”

Java hanya diam tak bergeming, ia biarkan suaminya itu melakukan apapun yang ia inginkan.

Namun sesat kemudian Java merasakan sebuah tangan melingkar diperutnya dengan begitu erat, buat air matanya semakin keluar deras. Ia rindu pelukan ini, namun rasanya masih kurang lengkap, ia butuh pelukan kecil yang lain.

Ia lantas membalikkan tubuhnya dan langsung memeluk tubuh suaminya itu erat, ia menangis disana.

“Maafin aku… maafin aku sudah kasar sama kamu…” ucap Seth sambil mengelus surai hitam itu lembut, ia biarkan Java menumpahkan semua emosinya hingga ia merasa puas.

Java mengangguk sambil mengusap jejak air mata dipipinya, “m-maafin aku juga, nggak seharusnya aku berpikiran jahat waktu itu…”

Seth mengangguk sambil tersenyum, kemudian ia cium dahi suaminya itu dengan lembut.

“T-terus Zion dimana…”

Seth tersenyum lalu mengecup bibir Java pelan, “Zion sama kakak sekarang, kakak yang jemput karna mau ajak Zion ikut check up kandungan Shion..”

Java tersenyum kecut, ia merasa sedih sebab putranya tampak sangat bahagia dengan kehamilan Shion, dan sedih dengan kehamilannya.

Ia juga ingin ditemani check up kandungan oleh putra kecilnya itu nanti, tapi apa ia mau? Bahkan untuk menatap wajahnya saja ia enggan.

Namun ditengah lamunannya itu, ia dikejutkan dengan teriakan diringi isak tangis putra kecilnya itu.

“DADDAAA!!!”

Java tersentak lalu mendapati putranya berdiri diambang pintu kamar mereka dengan wajah sembabnya.

“Sayang? Kenapa nangis? Sini kasih tau Dadda…”

Anak itu langsung berlari kearahnya lalu memeluknya dengan begitu erat.

“Maafin.. maafin adek Dadda.. maafin adek sudah jahat sama Dadda..” anak itu terisak sambil mendusal pada Java.

Java usap kepala putranya itu dengan lembut, sambil ia ciumi dahinya pelan agar anak itu dapat lebih tenang.

“Adek nggak pernah jahat sama Dadda, kenapa bilang gitu…”

“Adek jahat… adek marah karna Dadda hamil, adek bikin Dadda nangis terus…”

It’s okay sayang, Dadda harusnya yang minta maaf… harusnya Dadda nggak ingarin janji Dadda…”

Anak itu mengangguk pelan sambil menatap padanya, “adek nggak marah lagi.. adek nggak sedih lagi.. adek nggak apa-apa kalo Dadda hamil lagi..”

Java terkejut, namun Seth justru tersenyum. Ia senang karna cara yang dipakai oleh kakaknya itu berhasil luluhkan hati sikecil.

“Yakin?” Tanya Seth pada putra kecilnya itu.

Anak itu mengangguk mantap, “yakin Baba…”

Seth tersenyum lalu bawa putra kecilnya itu kedalam pelukan, “sekarang kamu udah jadi kakak, harus belajar dewasa ya biar nanti adiknya bisa belajar dari kakaknya… mulai sekarang kamu harus belajar berbagi, dan nggak semua yang kamu mau harus terjadi…” ucap Seth memberi petuah untuk putra kecilnya itu.

“Iya Baba..”

Mereka pun berpelukan seperti sedia kala, berbagi kehangatan dan suka cita. Kabar kehamilan yang awalnya menjadi berita duka kini berganti menjadi berita bahagia.

“Terima kasih ya.. ini hadiah ulang tahun terbaik untuk Baba..”

No responses yet