Eren
6 min readJan 28, 2025
play date

Mendesah pelan sambil tatap bagian langit-langit kamar, Jinan ingin mengeluh tentang lelahnya jadi orang tua. Tapi nyatanya ia cukup malu saat tatap siluet sang suami yang tengah menggendong putra kecil mereka untuk ditiduri.

Bagaimana bisa laki-laki itu dengan lapang dada melakukan hal itu, disaat Jinan tahu betul rutinitasnya belakangan ini cukup menumpuk.

Tak ada yang salah atau harus disalahkan disini, sebab semuanya sudah digaris takdir. Wajar jika lelah, maka hanya perlu istirahat sejenak.

“Udah bobok?” Tanya nya saat lihat pak Agam berjalan mendekat kearah ranjang.

Pak Agam tersenyum sambil mengangguk.

Ah, disaat seperti ini pun ia masih bisa tersenyum.

Pria itu dengan lembut membaringkan putra kecil mereka didalam box yang terletak disamping ranjang mereka. Setelahnya ia pun turut membaringkan tubuhnya disamping Jinan.

Jinan pun langsung peluk tubuh yang lebih tua dengan erat, sambil mendusal dan menghirup aroma yang mampu merelaksasi pikirannya.

“Capek ya seharian sama Gama..”

Jinan setuju namun kepalanya menggeleng tak sinkron, sebab ia terlalu malu untuk mengakui.

“Capek an mas sih, udah kerja seharian terus pulan ngurusin Gama.” Ucapnya.

Pak Agam terkekeh lalu usap pipi Jinan dengan lembut, “udah kewajiban kita buat urus Gama sama-sama. Kamu papah nya, mas ayahnya. Walaupun sama-sama capek, seenggaknya kita masih punya satu sama lain buat tempat bersandar.”

Jinan tersenyum, baginya ini lah satu keuntungan menikah dengan pria yang lebih dewasa. Mereka lebih banyak mengayomi dan mengerti sebab kendali emosinya lebih stabil.

“Makasih ya mas udah mau bantu ngurusin Gama, aku tau mas pasti capeeek banget kerja seharian… tapi masih usahain buat bantu aku ngurusin anak. Aku sama Gama beruntung banget punya kamu, mas.” Ucapnya lagi.

Pak Agam terkekeh, lalu cium dahi Jinan dengan lembut.

Harusnya disini pak Agam yang bersimpuh sambil mengucapkan banyak terima kasih untuk Jinan. Sebab anak itu sudah rela mengorbankan masa mudanya untuk hidup bersamanya, bahkan merawat darah daging nya.

“Ada yang mau mas diskusikan sama kamu.”

Jinan menatap bingung, “diskusiin apa, mas?”

“Mas udah lama kepikiran soal ini, gimana kalau kita cari pengasuh untuk Gama?” tanyanya, buat Jinan terkejut.

“Mas? Kok bisa sih mikir kayak gitu? Walaupun aku kadang capek, aku masih bisa kok ngurusin anak aku sendiri. Aku nggak setuju.” Ucapnya.

Pak Agam terima alasan itu, namun ia juga punya alasan lain yang Jinan perlu tau.

Maka dengan lembut ia tangkup kedua pipi Jinan sambil menatapnya dengan lembut.

“Mas paham kok, paham sekali maksud kamu. Tapi mas juga mikir kayak gitu karna kamu, sayang. Kamu masih muda, banyak hal mungkin yang pengen kamu coba tapi terhalang karna harus ngurusin Gama. Mas nggak mau kamu kehilangan momen masa muda kamu, entah itu bareng temen-temen kamu atau soal cita-cita kamu.”

Jinan terdiam, ia seketika teringat akan beberapa hal yang dulu sangat ingin ia lakukan ketika dewasa namun belum ia lakukan sampai sekarang.

“Mas pun udah janji sama mama, akan selalu support kemauan kamu. Mas nggak akan larang kalau kamu mau coba kerja atau mau lanjut pendidikan s2. Mas akan selalu support kamu dalam bentuk apapun.” Ucap pak Agam buat Jina tertegun.

Ia menghela nafasnya panjang, lalu melirik kearah putra kecilnya yang tengah tertidur lelap didalam box bayi itu.

“Gimana ya mas, aku juga dillema. Jujur aku kadang iri sama temenku yang sekarang sibuk kerja atau bisa nongkrong sama temen yang lain. Tapi disisi lain aku juga enjoy ngurusin Gama, aku nikmatin banget tiap liat anakku tumbuh dan berprogres tiap saat. Aku juga mikirin hal ini kok, aku sekarang udah punya keluarga, punya suami sama anak. Kalo aku egois, rasanya jahat banget sama kalian, apa lagi Gama.”

“Nggak mungkin aku tega ninggalin anak yang aku urusin dari bayi, terus ditinggal sama pengasuh. Aku selalu mau jadi orang pertama liat perkembangan anak aku, aku nggak rela orang lain ada diposisi itu. Aku juga nggak mau nantinya Gama lebih bergantung sama orang lain dari pada sama aku, papah nya sendiri. Nggak rela.” Sambungnya.

Pak Agam mengangguk mengerti lalu membawa Jina kedalam pelukannya, ia ciumi pucuk kepalanya dengan lembut sambil usap punggung sempit itu.

“Mas ngerti sayang, mas ngerti. Sekarang keputusannya tetep ada dikamu, mas akan selalu support apapun keputusan kamu.”

Jinan mendongak, menatap suaminya itu.

“Keputusanya, aku nggak setuju dan nggak mau. Aku mau jadi papah yang keren aja buat Gama.” Ucapnya.

Pak Agam mengangguk sambil tersenyum bangga, kemudian kembali bubuhkan kecupan lembut didahi yang lebih muda.

“Iya sayang, kamu udah keren. Tapi kalau suatu saat kamu pengen coba sesuatu langsung kasih tau mas ya.. mas bakal selalu support setiap langkah kamu.”

Jinan tersenyum, lalu kembali peluk erat tubuh yang lebih besar itu seraya membenamkan wajahnya didada bidang pak Agam.

Ia sangat bahagia memiliki pak Agam, sosok yang sempurna yang menjadi suami sekaligus menggantikan peran ayah yang selama ini tak pernah ia dapatkan.

“Mas… boleh?” Jinan menatap pak Agam penuh harap sambil menunjukkan miniatur lego dipelukannya.

Siang itu, pak Agam dan Jinan memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama, atau sering mereka sebut dengan family time. Kali ini mereka pilih untuk menghabiskan waktu diluar, hanya sekedar berkunjung ke mall terdekat untuk membelikan Gama beberapa mainan juga belanja keperluan bulanan mereka.

Namun nampaknya Jinan lah yang lebih bersemangat memilih mainan, matanya sibuk melirik kesana kemari mencari-cari mainan layaknya anak kecil.

“Aku pengen banget mainin ini dulu tuh, tapi sibuk kuliah terus…”

Pak Agam terkekeh, ia tau Jinan tengah berusaha merayunya. Padahal Jinan tak perlu susah-susah melakukan itu, sebab pak Agam pasti akan memberikan apapun yang ia mau.

“Boleh sayang, masukin aja.”

Jinan tersenyum lebar, lalu memasukkan mainan miniatur itu ketroli belanjaan mereka. Kemudian ia peluk lengan suaminya itu dengan erat.

“Makasih mas sayang.” Ucapnya.

Pak Agam tersenyum seraya menunjuk pipinya, buat Jinan seketika paham dengan harga yang harus ia bayar untuk mainan miniatur itu.

Chup

Dengan susah payah ia berjinjit lalu mencium pipi pak Agam dengan gemas.

“Kembali kasih, sayangku.” Balas pak Agam buat Jinan tersenyum malu.

Euunggg~… ddaa daa..

“Iya-iya, ayo kita pilih mainan buat adek ya ayah.”

“Iyaa papah.”

Usai berbelanja berbagai keperluan, pak Agam dan Jinan pun memutuskan untuk segera pulang sebab tak sabar ingin cepat-cepat menghabiskan waktu bersama dirumah.

Namun sesampainya dirumah, sikecil justru sudah tertidur pulas.

“Udah tidur dia.. padahal mau cobain main mainan baru..” ucap Jinan menatap putra kecilnya itu sendu.

Pak Agam terkekeh sambil usak rambut Jinan dengan lembut, “mungkin udah capek, anak kecil kan gampang capek. Beda energinya sama orang dewasa.”

Jinan mengangguk lesu, “padahal mau main sama Gama dulu aku tuh…”

“Udah jangan sedih, nanti kan bisa main sama mas. Nanti kita rakit lego nya bareng-bareng ya?”

Jinan mengangguk pelan sambik tersenyum, sementara pak Agam mengangkat putra kecil mereka kedalam gendongan untuk segera dipindahkan kekamar.

“Yang bener ih, ini tuh harusnya disini mas…”

“Disini sayang, liat panduannya.”

Jinan mendengus sebal, sepanjang kegiatan merakit miniatur itu mereka terus berdebat. Jinan yang tak sabaran dan pak Agam yang terlalu memperhatikan kertas panduan.

“Mas ih, stop liat panduan! Jadinya nggak seru tau!”

Pak Agam melirik Jinan, ia seketika merasa bersalah karna terus memaksakan kehendaknya. Benar apa yang Jinan katakan, kalau terlalu mengikuti panduan, prosesnya tak akan berjalan seru dan terkesan lama.

Namun pak Agam juga sadari mungkin dirinya terlalu tua untuk bermain mainan seperti ini.

Maka ia biarkan Jinan merakit sendiri, sementara ia hanya mengawasi.

“Ih! Kok gak bisa sih! Ini juga, harusnya bisa masuk. Kok susah!” Eluh Jina kesal menatap potongan miniatur yang masih banyak belum terpasang itu.

Ia melirik kearah pak Agam, namun pria itu hanya memperhatikannya saja buat dirinya semakin kesal.

“Duh tuhann tolong kasih keajaiban biar miniatur ini kerakit sendiri…” ucapnya dramatis, buat pak Agam terkekeh pelan.

“Biar mas aja yang rakit, kamu liatin aja, tunggu miniaturnya jadi.” Ucap pria itu mengambil alih.

“Dari tadi kek! Harus banget disindir dulu baru ngerti.”

Pak Agam hanya tertawa pelan sambil mulai merakit potongan demi potongan kecil sambil membaca kertas panduan. Sementara itu Jinan merebahkah tububnya sambil menatap kearah suaminya yang tengah sibuk merakit mainan untuknya.

Menit demi menit berlalu, mata Jinan terasa kian berat. Hingga tanpa sadar ia terlelap menjemput mimpinya.

“Udah nih — ” pak Agam yang telah selesai dengan miniaturnya itu seketika terkekeh saat lihat Jinan yang sudah terlelap tenang.

Ia menghembuskan nafasnya panjang, lalu bangkit dan mengangkat Jinan kedalam gendongannya.

Jinan sama sekali tak terbangun oleh pergerakan itu, ia justru dengan nyaman mendusal didada pak Agam.

Namun sayangnya saat tubuhnya direbahkan dikasur empuk itu, ia justru tersadar.

“M-mas? Haaahh… aku ketiduran… maafin aku…”

“Udah kamu lanjut tidur aja, lego nya udah selesai. Mas beresin dibawah dulu.” pak Agam usap surai legam itu dengan lembut lalu bubuhkan kecupan lembut didahi yang lebih muda.

Jinan mengangguk, “jangan lama-lama.. mau peluk mas…”

“Iya sayang, nanti cuddle sampe tidur lagi sama mas.”

Jinan tersenyum dengan wajah sayunya, “Jinan sayang mas Agam.” Ucapnya.

Pak Agam mengangguk sambil tersenyum, “mas Agam jauh lebih sayang Jinan.”

No responses yet