Eren
3 min readJan 4, 2025
morning sick

Pak Agam kini tengah berada dikamarnya, duduk dimeja kerjanya sembari memijat pangkal hidungnya, sebab kepalanya terasa sakit.

Sudah beberapa hari ini pak Agam rasakan dirinya sedang tak dalam kondisi yang sehat, sebab sering kali ia merasakan mual bahkan sampai muntah-muntah dikamar mandi.

Seperti sekarang, tiba-tiba pak Agam kembali merasa mual. Laki-laki itu dengan cepat bergegas kekamar mandi dan memuntahkan isi perutnya.

Namun sangat disayangkan yang keluar hanya lah air liurnya saja, buat pak Agam menghela nafasnya pelan. Ia lalu berjalan keluar dari kamar mandi tersebut dengan wajah pucatnya dan kembali duduk dimeja kerjanya untuk melanjutkan pekerjaanya.

Celine yang tengah duduk diatas ranjang pak Agam itu nampak tersenyum menatap pria itu.

“Masih mau nyangkal kalo ini anak kamu? Buktinya kamu kena gejala morning sick yang cuma bisa dialamin suami kalo istrinya hamil.” Ucapnya dengan senyum miring.

Pak Agam berdecak pelan, “saya bukan suami kamu Celine. Lagipula saya yakin kalau saya masuk angin karna lelah, lelah menghadapi sikap kamu.” Ucapnya tanpa menatap wanita itu.

Celine terkekeh pelan sambil mengelus perut ratanya, “sabar ya dek, ayah kamu masih denial. Bunda yakin suatu saat ayah kamu pasti luluh dan mau nerima kamu.” Ucapnya.

Demi apapun perkataan Celine bikin pak Agam muak, sampai laki-laki itu mematikan komputernya lalu pergi keluar kamarnya, meninggalkan Celine disana.

Ia berjalan kearah dapur lalu mengambil sebotol air dingin didalam kulkasnya, lalu meminum air itu dengan tak sabaran.

Hahhh… nggak mungkin, nggak mungkin anak itu anak saya.” Gumamnya dengan wajah cemas.

“Gimana perkembangannya, masih sering muntah-muntah?”

Jinan sedikit meringis geli saat rasakan gel dingin dioleskan kepermukaan perutnya, ia menggeleng pelan sebagai jawaban dari pertanyaan sang dokter.

“Kayaknya udah nggak ya Ji, cuma suka ngidam-ngidam biasa aja kayak orang hamil dok. Waktu itu pernah jam lima pagi saya pergokin lagi makan mangga muda sendirian.” Ucap ibunda Jinan buat sang dokter tertawa pelan.

“Pasti suaminya kewalahan nih nurutin ngidamnya Jinan…” canda dokter itu seketika buat suasana jadi canggung.

“Ini bisa dilihat ya ukuran janinnya sudah sedikit berkembang dari sebelumnya, nanti akan semakin membesar lagi sampai semua anggota tubuhnya terbentuk sempurna.”

Jinan menatap monitor itu dengan serius, melihat bagaimana bayi didalam perutnya itu tertidur disana. Ia tersenyum, walaupun banyak kesedihan yang ia rasakan untuk bayinya itu, setidaknya ia tak pernah berfikiran untuk membunuh bayi itu.

“Itu… belum bisa diliat ya cewek atau cowoknya?” Tanya Jinan.

“Ya belum lah Jinan, anakmu masih cilik gitu. Nanti tunggu perutmu udah besar baru kita bisa lihat.” Ucap sang ibunda.

Dokter itu tertawa pelan, “biasanya yang nanya kayak gitu si ayah bayi nya, ayahnya mau anaknya apa nih?”

Jinan dan sang ibunda saling tatap, “bebas sih kayaknya..” jawab Jinan sambil tertawa canggung.

“Nanti next check up ajak ayahnya ya, biar ayahnya lihat langsung perkembangan bayinya..” ucap dokter itu lagi.

Jinan terdiam, hatinya terasa sedikit tercubit mendengar hal itu. Jika bisa tentu saja Jinan mau bawa ayah dari bayi ini, pak Agam untuk turut ikut serta melihat bagaimana perkembangan bayi mereka. Namun apalah daya, nasib berkata lain, tak mungkin kan Jinan bawa suami dari orang lain itu.

Jinan kemudian mengangguk sambil tersenyum, lalu turun dari ranjang rumah sakit itu.

“Jinan mau kekamar mandi dulu ya, kebelet pengen pipis.” Ucapnya.

Tentu saja bohong, yang ingin ia lakukan dikamar mandi bukanlah buang air, melainkan diam-diam menangis seperti biasanya.

No responses yet