Pak Agam memandang lemas pada layar ponselnya usai dapati kontaknya sudah diblokir oleh Jinan. Ia menggenggam benda itu kuat, ia tak akan gentar.
Walau Jinan larang ia akan tetap berusahan untuk temukan Jinan.
Cukup satu kali pak Agam kehilangan Jinan, ia tak akan mengulangi kesalahan untuk yang kedua kali.
Dengan langkah cepat ia telusuri tiap gang dan jalan sempit disana seraya bertanya pada warga sekitar dengan menunjukkan foto Jinan.
Sementara dilain tempat, Jinan duduk dibawah jembatan, memandangi derasnya gerak arus sungai. Semilir angin malam seakan menusuk permukaan kulitnya, buat Jinan merasa sedikit menggigil.
Tak ada seorang pun disana, ditempat dengan cahaya remang-remang itu. Tentu saja, lagi pula orang gila mana yang mau duduk dibawah jembatan saat mendekati tengah malam.
Jinan lah orang gila itu.
Orang gila yang kabur meninggalkan bayi kecilnya dirumah sendirian. Walau begitu setidaknya disini Jinan merasa sedikit tenang usai pergi meninggalkan realita yang terasa masam. Tak ada rasa penyesalan dibenaknya sebab ia rasa ia sudah mencapai batas lelahnya.
Tap Tap Tap
Suara derap langkah mengintrupsi Jinan yang tengah duduk termenung menatap pada sungai itu. Jinan menoleh, lalu mendapati seorang wanita dengan gaun putih dan rambut panjang berjalan kearah pinggir sungai.
Jinan menegup ludah nya kasar, bulu kuduknya seketika berdiri. Ia menatap takut pada wanita itu, wanita yang nampak pucat dengan tatapan kosong.
Ia sedikit takut namun juga penasaran, apakah wanita itu juga manusia seperti dirinya? Atau ia hanya tengah berhalusinasi semata.
Tak ingin diam dengan rasa penasaran, Jinan lantas bangkit dan mendekat pada wanita itu.
“P-permisi.. mbak ngapain berdiri disini? Bahaya loh, ntar kepeleset ke sungai.” Ucapnya dengan suara sedikit gemetar.
Wanita itu tersenyum lalu menatap lurus pada sungai itu, “nggak apa-apa kalau saya tenggelam, seenggaknya saya bisa tenang.” Ucapnya buat Jinan seketika tersentak.
“Maksudnya? Mbak mau — ” belum sempat Jinan menyambung kalimatnya, wanita itu mengangguk sambil tersenyum buat Jinan reflek buru-buru membawa wanita itu untuk berpindah sedikit jauh dari pinggir sungai.
“Mbak, bundir bukan satu-satunya cara buat nyelesain masalah… mbak mau cerita?”
Wanita itu kembali tersenyum, “kamu sendiri ngapain disini malem-malem, mau bundir juga? Berarti nanti saya ada temennya dong kalo gentayangan.” Ucapnya sambil terkekeh.
“E-enggak kok, saya cuma lagi ada masalah yang bikin saya stresa belakangan ini. Saya cuma mau kabur, tapi nggak sampe kabur kepangkuan tuhan juga.” Balas Jinan.
Wanita itu lagi-lagi tersenyum, “terus apa masalahnya, coba cerita.”
Jinan menggeleng, “mbak dulu aja yang cerita, nanti gantian.” Ucapnya.
“Oke deh kalo gitu.” Wanita itu mengangguk sambil mendudukkan dirinya disana.
“Saya udah nggak punya tujuan lagi untuk hidup disini. Dunia saya udah hancur, udah nggak bisa diperbaiki lagi.” Ucapnya.
Jinan diam, “saya udah lama menikah sama suami saya, waktu itu umur saya bisa dibilang udah mateng untuk menikah sampai akhirnya saya dilamar, tapi nggak direstuin sama papa saya.” Wanita itu mengulum bibirnya, matanya nampak berkaca-kaca.
“Saya nggak terima dan akhirnya kabur sama suami saya, dan itu bikin papa serang jantung terus meninggal. Waktu itu nggak begitu sedih soalnya saya mikirnya masih punya suami yang cinta sama saya, dia laki-laki yang baik sekali.” Wanita itu tersenyum.
“Selama sembilan tahun menikah, saya nggak hamil-hamil padahal semua cara udah saya dan suami saya lakuin. Saya sedih, tapi suami selalu support saya. Terus di sebelas tahun pernikahan, tahun ini, saya dikasih hamil sama tuhan.” Ucapnya.
“Suami seneng banget waktu itu, karna dia pasti pengen banget punya anak kayak temen-temennya. Tapi sayangnya nggak berlangsung lama, janinnya nggak kuat jadi saya keguguran. Saya sedih, rasanya nggak becus banget jadi istri. Tiap hari saya nangis, kadang ngurung diri dikamar sampai nggak makan.”
“Sejak saat itu juga suami saya tingkahnya mulai berubah, suka jarang pulang, jarang ngabarin. Dan kemarin puncaknya, saya mergokin dia selingkuh…” sudut mata wanita itu mulai basah, bulir-bulir bening mengalir turun dari sana.
“Demi tuhan sakit rasanya, kehilangan papa, kehilangan calon bayi, dan sekarang harus kehilangan suami. Saya rasanya hancur, saya nggak punya siapa-siapa lagi disini. Coba aja saya bisa hamil dan punya bayi kayak orang lain, pasti suami saya nggak bakal selingkuh… atau seenggaknya saya masih punya bayi saya…”
Jinan tertegun mendengar keluh kesah wanita itu, namun ia sama sekali tak bisa memberikan nasihat sebab keadaannya dengan wanita itu sangat berbanding terbalik.
Jinan tersenyum kecut, “punya bayi nggak seenak yang mbak kira.” Ucapnya.
Wanita itu menoleh pada Jinan lalu tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, “saya tau kok, tapi seenggaknya lebih enak capek karna ngurusin bayi dari pada capek sama keadaan kayak saya. Saya capek berharap, capek nunggu, capek usaha supaya bisa hamil dan punya bayi. Jadi pejuang garis dua itu jauh lebih capek, capek fisik dan capek batin.”
Jinan terdiam.
“Kamu nggak tau rasanya tiap ketemu temen atau keluarga dari suami kamu yang nanyain udah hamil atau belum, kapan hamil, dikatain mandul, sampai dipaksa cerai sama suami cuma gara-gara belum bisa kasih bayi.”
Wanita itu menghela nafasnya panjang, menatap kearah Jinan lalu mengusap punggung Jinan lembut.
“Saya nggak tau apa masalah kamu sampai kamu duduk sendirian disini, tapi nggak mau bunuh diri. Tapi saya berdo’a semoga kamu dan orang lain nggak bernasib sama kayak saya.”
Jinan terhenyuh, dadanya terasa nyeri dan matanya terasa perih. Bagaimana bisa ia tak bersyukur dengan keadaannya sekarang, diberi semua kenikmatan. Punya suami dan seorang bayi lucu dirumah sana, Jinan tak diwajibkan untuk bekerja banting tulang dan hanya duduk manis dirumah.
Bagaimana bisa ia berfikiran bahwa pak Agam tak menyayanginya lagi, seharusnya Jinan mengerti kalau wajar bagi pak Agam memberikan perhatian lebih untuk bayi mereka. Tak seharusnya Jinan tinggalkan bayinya menangis sendirian dirumah.
Jinan kemudian terisak sambil memaki dirinya sendiri. Pak Agam pasti sangat kecewa dengan dirinya sekarang.
“S-saya punya bayi dirumah hichhh… tapi tadi siang saya tinggal dirumah sendirian k-karna saya pusing dengerin dia nangis… saya — saya nggak tau kenapa saya kayak gini, saya ngerasa semua orang berubah sikapnya sama saya semenjak bayi itu lahir.” Ucap Jinan sambil terisak.
Wanita itu langsung bawa Jinan kepelukannya, ia usap surai legam anak itu dengan lembut.
“Ssstt… it’s okay… saya paham kenapa kamu kayak gitu. Kamu pasti lagi ngalamin yang namanya baby blues… kamu nggak salah.”
Wanita itu melepaskan pelukannya lalu mengusap pipi Jinan yang basah.
“Walaupun saya belum pernah ngerasain punya bayi kayak kamu, tapi saya paham kok perasaan kamu. Kamu cuma butuh perhatian lebih dari orang-orang disekitar kamu, kamu mungkin cuma ngerasa cemburu kan, karna sekarang orang-orang lebih merhatiin bayimu dari pada kamu.” Ucapnya.
Jinan mengangguk pelan, buat wanita itu terkekeh pelan.
“Kamu harus percaya, semua orang itu sayang sama kamu. Mungkin mereka sekarang lagi gemes-gemesnya sama bayi kamu. Gini deh, coba kamu inget-inget gimana sikap suami kamu ke kamu, sama ke bayi kamu. Pasti beda kan?” tanya wanita itu.
Jinan terdiam sejenak mengingat bagaimana pak Agam babak belur saat memperjuangkan agar bisa mendapatkannya, mengingat bagaimana pak Agam dengan wajah sayu nya rela bangun tengah malam untuk menggendong bayi mereka agar Jinan bisa beristirahat dengan nyaman.
Jinan harusnya mengerti dari awal, perhatian yang pak Agam berikan untuk bayinya itu sebenarnya untuk Jinan sendiri.
Jinan kemudian mengangguk pelan lalu menundukkan kepalanya. Ia tiba-tiba teringat bengaimana kasarnya ia membalas pesan dari pak Agam.
Apakah laki-laki itu masih mau menerimanya setelah ini?
“Suami kamu pasti orang baik kan Jinan, lebih baik kamu pulang sekarang. Saya yakin dia pasti lagi nyariin kamu sekarang.”
“Tapi, tadi aku bilang sama suamiku buat nggak usah cari aku lagi. Aku nggak mau pulang lagi, dia pasti udah kecewa sama aku.”
Wanita itu kembali tersenyum lalu mengusap pundak Jinan lembut, “nggak akan, percaya sama mbak. Suami kamu pasti masih nyariin kamu sekarang, lebih baik kamu pulang.”
Jinan mengangguk pelan lalu beranjak dari duduknya, ia bertekad ingin segera pulang sekarang bagaimana pun keadaannya.
Namun saat ia ingin melangkahkan kakinya ia langsung menoleh kearah wanita itu, namun ia tak lagi mendapati wanita itu disana.
Wanita itu seakan menghilang begitu saja, padahal Jinan hanya beranjak dari duduknya sejenak.
Semilir angin bertiup, menerpa permukaan kulit Jinan hingga membuat kulitnya meremang.
Jinan tak ingin berfikir panjang, ia segera berlari meninggalkan tempat itu tanpa menoleh kebelakang.
Sementara itu dilain tempat pak Agam mendesah panjang sambil memijat pangkal hidungnya. Sudah lebih dari satu jam tapi ia tak kunjung menemukan Jinan, beberapa warga yang sempat ia tanyai pun mengaku tak melihat Jinan.
Pak Agam pun melangkahkan kakinya lesu, ia berniat pergi kekantor polisi untu membuat laporan kehilangan.
Namun sebuah derap langkah cepat tiba-tiba mengintrupsi nya.
Drap Drap Drap Drap!
“Mas! Mas Agam! Mamas!” sebuah suara familiar itu, yang sedang pak Agam cari.
Pak Agam lantas membalikkan tubuhnya dan mendapati Jinan yang tengah berlari kearahnya.
“Jinan!” Pak Agam ikut berlari kearah anak itu dengan kencang lalu langsung mendekap tubuhnya erat.
“Mas — ”
“Maafin mas.. maafin mas sayang… maafin mas karna nggak sadar sama keadaan kamu.. maafin mas udah biarin kamu stress sendirian, mas tau mas nggak becus tapi tolong maafin mas. Mas janji setelah ini mas perbaiki sikap mas… tolong jangan tinggalin mas lagi.” ucap pak Agam sambil mengeratkan peluknya.
Jinan mengangguk, dadanya terasa nyeri saat mendengar tiap maaf yang pak Agam ucapkan. Seharusnya Jinan yang minta maaf sambil bersimpuh dikaki lelaki itu, namun lelaki itu justru mengemis maaf padanya.
“Maafin aku juga mas.. aku juga salah, aku nggak seharusnya pergi kayak gini hichh… nggak seharusnya aku tinggalin Gama nangis sendirian dirumah. Aku salah..”
Pak Agam melepaskan peluknya, lalu menangkup kedua pipi Jinan.
“Mas yang salah disini, mas nggak kasih kamu banyak perhatian belakangan ini. Pasti kamu sedih, maafin mas ya? Demi tuhan, setelah ini mas janji bakal perbaiki semua kesalahan mas.” Ucapnya lalu mencium dahi Jinan lembut.
Jinan mengangguk, lalu memeluk suaminya itu erat. Dalam benaknya, ia berjanji tak akan melakukan hal bodoh seperti ini lagi.
“Aku sayang mas.” Ucapnya.
Pak Agam mengangguk sambil mengeratkan peluknya, “mas lebih sayang kamu, Jinan. Lebih dari pada diri mas sendiri.”
“Besok jemput Gama ya?” Pinta Jinan sambil memainkan ujung rambut pak Agam.
Pak Agam menggeleng, lalu mengeratkan peluknya pada pinggang Jinan.
“Besok kita pacaran dulu, mas mau habisin waktu libur sama kamu aja seharian.” Ucapnya.
Jinan mengehela nafasnya pelan, ia merasa rindu dengan bayi kecilnya itu sekarang.
“Kangen Gama.” Ucapnya.
Pak Agam tersenyum lalu curi satu kecupan dibibir Jinan, “cuma satu hati, besok lusa kita jemput Gama. Kita family time, mau?”
Jinan mengangguk cepat sambil tersenyum lebar, “mau!” Jawabnya.
Pak Agam terkekeh lalu kembali peluk tubuh Jinan dengan erat, kemudian ia kecupi pundak Jinan lembut.
“Tolong jangan pergi lagi ya, ini bukan tentang Gama tapi tentang mas. Karna mas beneran nggak bisa hidup tanpa kamu sekarang, mas cinta kamu.”