Eren
4 min readJan 3, 2025

salted chocolate

Potong demi potong kue coklat itu Jinan suap kedalam mulutnya, ditengah ramainya suasana cafe saat itu tetes demi tetes bulir bening mengalir dari sudut matanya.

Untungnya ia dapat pilih duduk ditempat terpojok disana, membelakangi pengunjung lain.

Nyatanya manis kue coklat itupun kalah dengan asin yang mengalir dari ujung matanya.

Katakan Jinan cengeng, karna memang benar adanya. Lagi pula siapa yang kuat melihat pemandangan bahagia orang-orang yang juga hamil sama seperti dirinya ditemani oleh suaminya.

Niat hati ingin bangkit, justru dibuat runtuh kembali oleh keadaan.

“Asin..” gumamnya seraya mengusap air matanya yang terus turun.

Ia menghela nafasnya pelan, raih secangkir coklat hangat lalu menyeruputnya. Matanya memandang kearah jendela luar, rintik hujan turun.

Orang-orang tampak sibuk menepi mencari tempat berteduh namun adapula yang tampak sudah siap dengan payungnya.

Ia termenung, pindah jauh kelain kota nyatanya tak buat pikirannya ikut pindah. Ia masih terus memikirkan tentang seseorang disana, tempat yang ingin ia hapus dari ingatannya.

Pak Agam.

Apa pria itu rasakan hal yang sama dengannya? Apa ia bahagia sekarang dengan kepergian Jinan, atau ia sedih?

“Misi, boleh ikut duduk disini? Ditempat lain penuh soalnya, cuma disini kayaknya lu lagi sendiri..”

Jinan yang tengah termenung itu langsung tersentak, menatap kearah pria yang baru saja datang kemeja nya.

“Loh, temennya Gathan? Yang waktu itu ngumpet dimobil gua kan?”

Jinan dengan cepat menghapus jejak air matanya sambil menganggukkan kepalanya.

“Boleh gua duduk disini?” Tanya orang itu.

Jinan mengangguk, “boleh.” Ucapnya.

Pria itupun duduk didepan Jinan, ia lepaskan mantel yang ia pakai sambil merapikan rambutnya yang tampak sedikit basah.

“Nggak nyangka bisa ketemu lu lagi, dan disini? Kebetulan banget.” Ucapnya sambil tersenyum kecil.

Jinan ikut tersenyum, “iya ya..”

Pria itu terkekeh lalu mengulurkan tangannya pada Jinan, “gua Raihan, kita belum sempet kenalan kan waktu itu.” Ucapnya.

“Jinan.” Jinan balas uluran tangannya itu.

Tak lama seorang waiters datang dengan nampan berisi secangkir coklat panas, lalu memberikannya pada Raihan.

“Makasih mas.” Ucapnya sopan.

Jinan tak banyak bicara, ia masih merasa canggung dengan Raihan, mengingat laki-laki itu tau tentang ia yang kabur dari pak Agam waktu itu. Pasti laki-laki itu bertanya-tanya tentang apa yang terjadi diantara dirinya dan si dosen.

“Oh iya, lu ngapain disini? Kerja kah?” Tanya pria itu.

Jinan menggeleng, “enggak, ikut mama pindah tugas.” Jawabnya.

Raihan mengangguk pelan, “denger-denger si Gathan udah kerja ya dikantor keluarganya, enak banget dah gak perlu apply sana sini.” Ucapnya.

Jinan terkekeh, “emang lo disini ngapain? Lagi apply cv didaerah sini kah?” Tanya nya.

Raihan menggeleng, ia raih secangkir coklat panasnya lalu menghirupnya.

“Udah kerja gua, ditarik waktu gua magang dulu tapi ditempatin dicabang yang disini.” Ucapnya.

“Oalah, sama kayak Bayu ya berarti. Dia juga ditarik sama tempat magangnya.”

“Iya, tapi enak si Bayu ditariknya tetep disana. Tapi kayaknya bisa aja sih dia dipindahin kecabang juga kayak gua.”

Jinan hanya tersenyum kecil, ia kembali menyuap kue coklatnya kedalam mulut.

“Lu sendiri, belum dapet kerjaan kah?” Tanya Raihan.

Jinan sedikit tertegun mendengarnya, entah mengapa pertanyaan itu terdengar sensitif ditelinganya.

Jinan tersenyum lalu melemparkan pandangannya keluar, “nggak bisa, ada yang harus gue jaga soalnya.” Ucapnya.

Raihan menatap Jinan bingung, “jaga?” tanya nya penasaran.

“Ada deh.” Ucapnya sambil tersenyum lalu menghirup sisa coklat panasnya.

“Kalo gitu, gue pulang duluan ya Rai. See u..” pamit Jinan sambil mengemasi beberapa barangnya.

Saat Jinan hendak bangkit, dengan cepat Raihan mencekal tangan itu.

“Boleh gua minta kontak lu? Soalnya gua belom punya temen disini, siapa tau kita bisa jadi temen?”

“Pak Agam, kok belum pulang pak?”

Pak Agam yang tengah sibuk dengan monitornya itu menoleh, menatap rekan kerjanya yang tengah bersiap membereskan barang-barangnya untuk pulang.

“Ada yang belum selesai pak Dion..” jawabnya sambil tersenyum.

“Kalau gitu saya duluan ya pak Agam, maaf nggak bisa nemenin soalnya udah ditunggu istri dirumah.” Ucapnya.

Pak Agam hanya mengangguk sambil tersenyum, “hati-hati pak Dion, hujan deras diluar, jalanan licin.”

“Siap pak Agam.” Ucap pria itu lalu bergegas pergi keluar, menyisakan pak Agam sendirian diruangan itu.

Bohong jika pak Agam masih banyak pekerjaan, nyatanya pria itu hanya menatap lembar UAS mahasiswanya yang sudah ia nilai.

Pak Agam hanya merasa sungkan untuk pulang.

Ia tatap hujan deras yang mengguyur wilayah kampus sore itu, langit yang harusnya cerah pun terlihat sangat gelap.

Pak Agam menghela nafasnya pelan, entah mengapa ia merasa ada yang salah dengan dirinya. Ia merasa kosong, padahal banyak hal yang mengganggunya.

Ia merasakan hampa, sejak Jinan pergi dari sana — ralat, Jinan pergi dari dirinya.

Tak pernah ada lagi pesan yang pak Agam terima dari anak itu, buat pak Agam bertanya-tanya apa yang tengah anak itu lakukan sekarang, apa ia bahagia diluar sana? Atau apa ia juga merasakan apa yang pak Agam rasakan, kosong dan hampa.

Memang sebelum bertemu Jinan hidup pak Agam berjalan biasa-biasa saja, sepi dan tenang. Dulu pak Agam sangat suka seperti itu, namun saat Jinan masuk kedalam hidupnya, semuanya berubah.

Pak Agam selalu diganggu oleh anak itu, walau memang pada awalnya itu salah pak Agam yang tak mau menemuinya.

Namun pak Agam rasa ia mulai terbiasa diganggu oleh anak itu, atau bisa jadi ia sudah menaruh hati.

Drrt Drrt

Layar handphone pak Agam menyala, menampilkan notifikasi pesan. Ia dengan cepat raih benda berbetuk persegi panjang itu, berharap notifikasi itu berasal dari Jinan.

Namun detik kemudian kembali ia kaparkan handphone nya setelah tau pesan tersebut dari Celine.

Pak Agam menghela nafasnya pelan sambil memijat pangkal hidungnya pelan.

“Nyusahin.” Gumamnya.

Pak Agam kemudian langsung membereskan barang-barangnya dan bergegas pulang, walaupun sebenarnya ia sangat malas untuk pulang kerumahnya sendiri.

Mungkin sebab rumahnya bukanlah bangunan itu lagi.

No responses yet