“sebenarnya bisa saja kalau pak Agam mengajukan penukaran jadwal dengan dosen yang lain, tapi apa dosen itu mampu menjelaskan mata kuliah yang pak Agam pegang nanti saat field trip?”
Pak Agam menghela nafas pelan, saat ini ia tengah duduk berdua diruang program studi bersama sang ketua.
“Saya juga paham pasti pak Agam lelah karna tahun ini banyak trip, tapi saya nggak punya pilihan lain. Saya yakinnya sama pak Agam loh..” lelaki paruh baya itu tersenyum sambil menyeruput secangkir kopi panas yang disajikan.
Pak Agam hanya mengangguk pelan, pria itu masih berat hati sebab ia telah berjanji.
“Gini deh pak Agam, pak Agam udah punya kandidat untuk pertukaran jadwal trip nanti?”
“Rencananya saya mau bertukar jadwal sama pak Dion, saya belum ngabarin beliau tapi beliau pernah nawarin saya untuk tukaran jadwal trip diakhir tahun.”
Pria paruh baya itu mengangguk pelan, “boleh kamu hubungi pak Dion untuk pertukaran jadwal, lalu langsung konfirmasi sama saya kalau beliau berkenan.”
“Baik pak Abhi, terimakasih waktunya…” ucap pak Agam tersenyum sambil membungkuk sopan, lalu meninggalkan ruang program studi.
Ia sedikit lega sebab ada sedikit harapan, semoga ia bisa lakukan pertukaran jadwal dan bisa memenuhi janjinya pada Jinan.
Saat pak Agam berjalan keluar menyusuri jalan, matanya tak sengaja menangkap sosok Jinan yang tengah membelakanginya.
“Jinan!” Panggil pak Agam.
Yang dipanggil menoleh, buat pak Agam tersenyum. Namun senyumnya itu seketika luntur saat Jinan tiba-tiba berlari menjauh, buat pak Agam secara spontan mengejarnya.
“Jinan! Jinan, hey!” Panggilnya.
Sementara itu, Jinan yang terpaksa datang kekampus untuk mengurus beberapa berkas persiapan wisudanya itu tak kala terkejut saat pak Agam memanggilnya.
Ia tak ingin bersinggungan dengan pak Agam dulu, ia tak ingin pria itu berada disekitarnya dan membuatnya terus berharap.
Maka ia dengan cepat berlari menjauh kearah parkiran, berlari diantara mobil-mobil yang terparkir dan besembunyi dibaliknya.
“Jinan, kamu dimana?! Kenapa kamu lari?” Jinan duduk diantara dua mobil sambil memeluk kedua lututnya, tubuhnya bergetar ketakutan.
Drap Drap Drap
Langkah pak Agam kian mendekat, buat Jinan berdegup semakin kencang.
Klek!
Jinan terkejut bukan main saat pintu mobil dihadapannya itu terbuka, dengan seorang pria keluar dari dalam sana.
Pria itu sama terkejutnya dengan Jinan, namun Jinan dengan cepat membungkam mulutnya.
“Please jangan kasih tau…” bisiknya.
“Jinan?”
Tubuh Jinan menegang, derap langkah pak Agam semakin cepat kearahnya. Namun tanpa disangka pria itu justru mendorong Jinan masuk kedalam mobilnya dan langsung menutup pintunya.
“Jinan! — loh?”
“Loh pak Agam? Selamat pagi pak Agam!”
Pak Agam tersenyum kikuk sambil mengangguk pelan, “selamat pagi, kamu ada lihat laki-laki pakai hoodie putih disini?”
“Jinan?”
“Kamu kenal?”
Pria itu menggeleng pelan, “enggak, saya tadi denger bapak teriak-teriak panggil nama itu.”
Pak Agam mengela nafasnya pelan sambil melihat kekanan dan kekiri, memastikan tempat itu benar-benar kosong.
“Padahal dia tadi lewat sini, saya yakin sekali. Bisa-bisanya hilang…”
“Emang kenapa bapak cari Jinan?”
“Ada yang mau saya tanyain kedia, kalau kamu ketemu dia tolong diinfokan ya dicari saya..”
“Oh iya pak, aman…” jawab pria itu sambil tersenyum.
Pak Agam pun segera bergegas pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan bingungnya.
Sementara itu Jinan yang bersembunyi didalam mobil itu sudah tak dapat menahan tangisnya lagi, air matanya terus mengalir keluat basahi pipinya.
Klek.
“Udah aman — loh nangis? Lu kenapa njir?” tanya pria itu kaget saat lihat wajah Jinan yang sudah basah.
Jinan menggeleng pelan sambil keluar dari dalam sana, ia tersenyum sambil hapus jejak air matanya.
“M-makasih ya udah biarin gue ngumpet disana..” ucapnya.
Pria itu mengangguk pelan, sambil perhatikan raut Jinan dengan perasaan bingungnya.
“Eh lu bukannya temennya Gathan ya? Berarti kita seangkatan dong? Ini lu nangis karna ga lolos sidang kah?” Tanya pria itu, Jinan langsung menggeleng.
“Bukan kok, yaudah gue pamit duluan. Sekali lagi makasih.” Ucapnya pada pria itu lalu berjalan menuju kandaraannya sendiri yang terparkir ditempat khusus roda dua.
Plak!
“Mama nggak habis pikir ya sama kamu Jinan… Mama percayain kamu disini, tapi ini balasannya!”
Plak!
Jinan terduduk dilantai kamar kos nya, pipinya terasa panas mendapat banyak tamparan dari sang ibunda. Makian dan umpatan yang keluar dari mulut ibunda menjadi bukti bahwa wanita itu sangat kecewa dengan Jinan.
Yang Jinan lakukan hanya menangis sembari memegangi pipinya yang perih.
Bukan, bukan temparan yang membuatnya menangis hingga gemetar, melainkan realita kehidupan yang berbanding terbalik dengan yang ia bayangkan.
“Bilang sama mama! Siapa yang bikin kamu kayak gini, hah?!!” Wanita itu menjenggut rambut Jinan hingga kepalanya yang semula tertunduk jadi mendongat menatapnya.
“Hichh.. hichhh…” Jinan terus menangis, ia tak bingung bercampur takut, haruskah ia beritahukan siapa pelaku yang membuatnya berbadan dua itu.
“JAWAB JINANTHA KHAREE!!” Wanita itu berteriak penuh emosi sambil mencengkram rahang putranya kuat.
Namun putranya itu tak menjawab dan terus menangis, buat wanita itu kesal dan kembali mengangkat tangannya, ingin layangkan satu tamparan berharap putranya itu akan bicara.
Jinan terpejam saat tangan itu akan kembali menyentuh pipinya, namun untungnya tangan itu berhasil dicegat oleh Gathan yang baru saja datang bersama Bayu.
“Tante! Tante tenang dulu… kita omongin baik-baik, kalo kayak gini caranya Jinan gak bakalan mau ngomong.” Ucap Gathan menuntun wanita itu untuk duduk seraya mengelus lengannya dengan lembut agar amarahnya sedikit mereda.
Sementara Bayu dengan sigap langsung menuntun Jinan untuk bangkit dan duduk diatas ranjangnya yang berhadapan langsung dengan kursi yang diduduki oleh ibundanya.
Bayu peluk tubuh sahabatnya itu sambil diusapnya dengan lembut, agar ia bisa merasa sedikit tenang.
“Kalian tau kalo Jinan hamil?! Kenapa nggak ada yang kasih tau saya, hah?!”
Gathan sedikit tersentak mendengar bentakan dari wanita itu, ia sama takutnya namun ia harus beri alasan agar wanita itu tak semakin marah.
“A-anu tante.. kita juga baru tau, kita sama-sama kaget dan bingung, makanya belum siap untuk kasih tau tante…tante tau kan kalo kita semua sibuk sidang dan sekarang sibuk persiapan buat wisuda.. jadi kita — eh anu.. kita ngurusin itu dulu..”
Bukannya tenang mendengar penjelasan Gathan wanita itu nampak semakin marah hingga menggebrak meja, buat mereka tersentak kaget.
BRAK!
“Jadi menurut kalian Jinan hamil ini nggak penting hah?!”
“P-penting, tapi — ”
“Gathan! Tante percayakan Jinan sama kamu, tante minta kamu sama Bayu buat jagain Jinan disini! Tapi apa sekarang?! Jinan hamil! Dan saya nggak tau siapa yang bikin dia hamil!” Ucap Wanita itu kesal sambil menatap Jinan dengan tajam.
Tenggorokannya ikut terasa tercekat, emosinya sudah diujung tanduk. Marah, sedih, kecewa menjadi satu namun putranya tak kunjung buka mulut.
“Kalian tau kan… saya cuma punya Jinan, Jinan itu anak sematawayang saya..” suaranya mulai bergetar dan pandangannya mulai memburam.
“Maaf…” satu kata keluar dari mulut Gathan, sebab ia turut merasa lalai dari tanggung jawabnya
“Saya cuma mau tau siapa ayah dari anak yang Jinan kandung, saya nggak mau Jinan ngerasain apa yang saya rasain dulu, hamil sendirian.” Ucap wanita itu sukses buat Jinan langsung bertekuk lutut dan bersujud dikakinya.
“Mama.. maafin Jinan hichh… maafinhh…” Jinan menangis tersedu-sedu sambil memeluk kaki sang ibunda.
Sang ibunda pun sudah tak dapat bendung air matanya lagi, ia turut menangis dalam diam sambil menutup wajahnya dengan telapak tangannya.
Gathan dan Bayu saling beradu tatap seakan-akan memberikan kode, haruskah mereka beri tahu siapa yang sudah menghamili Jinan pada ibundanya.
Namun Gathan menggeleng, ia mau Jinan sendiri yang mengatakan hal itu oada ibundanya.
“Kasih tau mama, siapa yang udah bikin kamu kayak gini Jinan..”
Jinan mengangguk sambil mengusap pipinya yang basah, dengan nafas yang tersenggal ia susah payah menatap pada sang ibunda.
“Siapa ayahnya Jinan?” Tanya sang ibunda.
Namun Jinan kembali menangis, tak sanggup menatap wajah kecewa sang ibunda.
“Jangan nangis! Mama cuma mau tau siapa ayahnya!” Bentak wanita itu.
“Tante sabar tante…”
“Sabar sabar! Kalau Jinan kasih tau dari awal, saya nggak akan kayak gini, Bayu!”
Bayu menghela nafasnya, menatap pada Jinan lalu menggenggam tangan sahabatnya itu seakan memberikan kekuatan agar Jinan bisa mengatakan kebenarannya.
“Jinan..”
Jinan menggeleng buat Bayu berdecak pelan, ia ikut kesal sekarang sebab Jinan tak ingin mengatakan siapa pelakunya.
“Bayu, Gathan.. kalau Jinan nggak bisa kasih tau saya, kalian bisa kan?”
Jinan tersentak, menatap kepada Gathan dan Bayu agar kedua sahabatnya itu tak ikut campur. Gathan hanya menunduk, namun Bayu sama sekali tak memedulikannnya.
“Saya — ”
“Nggak tau! Hich… Jinan nggak tau siapa ayahnya…” ucap Jinan menyela saat Bayu akan bersuara, buat mereka semua tersentak kaget dengan apa yang Jinan katakan.
“Jinan nggak tau ma… Jinan main di club malam hichh.. nggak ngasih tau mereka…”
“JINANTHA KHAREE!”
PLAK!