“Selamat pagi…” sapa sopan Seth, membungkuk saat seorang wanita tua datang dari dalam rumah dengan dinding putih itu
“Selamat pagi, kamu siapa, cari siapa?” Tanya wanita itu sambil tersenyum hangat.
Dengan sopan Seth menjawab, “sebelumnya perkenalkan nama saya Seth park, saya datang untuk meminta izin untuk mengajak Java keluar bersama saya.”
Wanita tua itu tertawa pelan, pasalnya baru pertama kali ia mendengar seorang pemuda berbicara dengan begitu formal padanya.
“Jangan terlalu kaku sama saya, saya omah nya Java. Mari masuk dulu, minum teh sambil saya panggil Java nya.” Ucapnya.
Seth mengangguk lalu membuntuti wanita tua itu, kemudian duduk disebuah sofa yang terletak diruang tamu.
“Cantik, tolong buatkan teh hangat satu sama tolong panggilkan Java, bilang ada tamunya datang.” Ucap wanita tua itu pada seorang wanita paruh baya yang bekerja dirumahnya.
“Baik omah.” Jawabnya.
Wanita tua itu tersenyum, kemudian kembali mengalihkan atensinya pada pria bertubuh jangkung itu.
“Kalian pasti baru kenal, soalnya cucu saya baru disini dua minggu.”
Seth mengangguk, “iya, betul.” Jawabnya.
Wanita tua itu kembali tersenyum, namun senyumnya langsung pudar saat mendapati Hansel, cucu laki-lakinya datang tanpa memberi salam padanya.
“wahh, ada tamu — Loh Seth? Ngapain? Oh — omah mau buat foto keluarga ya?” Kaget pria itu saat mendapati Seth disana.
“Salam dulu.” Tegur wanita tua itu, buat Hansel terkekeh lalu duduk disebelahnya.
“Selamat pagi omah cantik.” Sapanya.
Seth hanya diam, mendadak ia merasa sedikit canggung melihat pemandangan itu.
“Java ada kan? Nsel mau ngajak Java mancing.”
Wanita tua itu tersenyum, buat Hansel bingung.
“Telat kamu, Java sudah ada janji sama dia.”
Hansel menatap Seth bingung, bagaimana bisa Java dan Seth tiba-tiba menjadi dekat? Bukanya akhir-akhir ini Seth sibuk dengan pekerjaannya.
“Hai..”
Semua atensi kini tertuju pada Java yang baru saja datang, pria kecil itu tampak cantik dengan kacamatanya.
“Jelek.”
Plak!
“Akhh!!”
“Mampus, rasain.” Puas Java saat Hansel dihadiahi sebuah pukulan dari sang nenek karna celetukannya.
Namun semua itu tak membuat Seth mengalihkan pandangannya dari pria manis itu, ia begitu terpukau saat melihat Java dengan kacamatanya.
Namun kemudian ia langsung kembalikan fokusnya, beranjak dari duduknya kemudian kembali meminta izin dan berpamitan untuk mengajak Java keluar bersamanya.
"the glasses look good on you" ucapnya.
Java terkekeh, “jadi sekarang yang dipuji kacamataku ya.” candanya.
Seth kemudian menggeleng sambil terkekeh, “nggak gitu, maksud saya kacamatanya jadi bagus karna dipakai sama kamu.” ucapnya buat Java tertawa pelan, laki-laki itu memang pintar menggombal.
“Jadi, kemana kamu mau ngajak aku hari ini?” Tanya nya.
“Banyak, tapi pertama-tama saya mau ngajak kamu makan dulu. Biar kamu kuat saya ajak kebanyak tempat cantik.” Ucapnya.
Java terkekeh pelan, “kamu bener-bener bertanggung jawab ya.”
“Hahaha jadi anak kecil yang kemaren itu nangis gara-gara takut sama kamu?” Java tak berhenti tertawa saat Seth menceritakan tentang pekerjaannya kemarin, dimana Seth diminta untuk memotret anak kecil namun anak kecil itu justru menangis melihat wajahnya.
Java menyeka bulir bening diujung matanya sambil mengatur nafasnya yang masih tersenggal.
“Jadi gimana akhirnya? Dia mau difoto?” Tanyanya.
Seth mengangguk, “mau, soalnya saya bujuk pakai permen jelly.”
Java mengangguk paham, tenyata menjadi seorang photographer tak selamanya berjalan mulus.
Kedunya kini tengah berjalan menyusuri trotoar, Java tak tau kemana pria ini akan membawanya pergi namun ia cukup percaya dengan tempat bagus yang pria itu maksud.
“Masih jauh gak? Aku agak capek.” Ucapnya.
Seth sontak menghentikan langkahnya, ia merasa sedikit tak enak karna mengajak Java jalan-jalan tanpa kendaraan. Namun apa boleh buat, tempat yang akan mereka datangi itu tak bisa dijangkau oleh kendaraan.
Seth pun berjongkok dihadapan Java, buat Java bingung, sempat mengira pria itu mau mengajaknya untuk lomba lari.
“Sini naik.” Titahnya.
“Naik kamu?”
Seth mengangguk, “iya, saya gendong biar kamu gak capek disana.” Ucapnya.
“Yaampun aku tadi cuma bercanda, aku sama sekali gak capek kok. Aku cuma penasaran aja kamu mau bawa aku kemana.” Jelas Java.
“Nggak apa-apa, saya tetap mau gendong kamu soalnya tempatnya emang masih jauh.” Ucap Seth, buat Java sedikit meringis karna sejujurnya pria itu memang sedikit lelah.
“Kita pesen taxi — ”
Seth terkekeh, “percuma, soalnya tempatnya gak bisa dilewatin kendaraan. Udah sini kamu naik.” Titahnya.
Java tampak bingung, ia merasa tak enak harus merepotkan laki-laki itu.
“Java.”
“Iya-iya aku naik, tapi kalo capek bilang ya.” ucapnya lalu dengan canggung naik kepunggung laki-laki itu.
Seth pun kemudian bangkit dengan Java dipunggungnya, buat pria manis itu sedikit mengeratkan pegangannya pada pundak Seth agar tak jatuh, namun justru tak sengaja memeluk pundaknya dengan sedikit erat.
Keduanya terdiam, dengan jantung yang sama-sama berdebar.
“Aku berat ya?”
“Nggak, sama sekali nggak berat. Kamu pegangan yang erat biar nggak jatuh.” Titah pria itu, padahal sebenarnya ia hanya ingin Java terus memeluknya.
“Eum..” Java mengeratkan peluknya pada pundak pria itu, buat pria itu diam-diam mengulum senyumnya.
Seth pun melanjutkan perjalanan mereka, menelusuri trotoar, kemudian masuk kedalam sebuah gang-gang kecil dan akhirnya membawa mereka pada jalan setapak yang memang hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki karna dipenuhi dengan rumput ilalang yang tinggi.
“Ini kamu gak culik aku kan?” Tanya Java bercanda.
“Mau banget saya culik?” Tanya Seth balik, buat Java terkekeh.
“Emang apasih feedbacknya kalo diculik sama kamu?”
“Saya jadiin istri.” Ucapnya bercanda, namun berhasil buat Java gugup.
“E-eh kamu gak capek? Ini masih jauh?” Tanya nya mengalihkan topik.
“Sebentar lagi sampai, kamu tutup mata dulu biar surprise.” Ucapnya.
“Awas aja kalo tempatnya gak cantik.” Ucapnya lalu menutup mata, mengeratkan peluknya, dan menyandarkan kepalanya dipundak Seth.
Jangan tanyakan keadaan pemuda itu, sebab bagaimana nafas hangat nan halus itu menerpa kulitnya, berhasil buat jantungnya kembali berdegup kencang.
“Udah boleh buka?” tanya Java.
“Hm…”
Java pun mulai membuka matanya perlahan, namun kemudian matanya membelalak kaget melihat pemandangan didepannya.
“Jangan bilang ini mimpi!” Ucapnya.
Seth terkekeh, “nggak kamu nggak mimpi.”
“Gak mungkin …” ucapanya masih tak percaya menatap telaga dengan beberapa angsa putih mangapung diatasnya, benar-benar seperti tempat yang sering dilukiskan dinegeri dongeng.
Seth pun mulai menurunkan pemuda itu dari punggungnya, membiarkan pemuda itu berlari kearah telaga dengan penuh semangat bak balita dengan rasa penasarannya.
Seth tersenyum, pemandangan ditempat ini sudah sering ia saksikan sebelumnya. Namun kali ini, tempat itu jadi jauh lebih cantik saat objek lensanya berada disana.
Seth pun buru-buru menyetting kameranya dan mengambil banyak foto Java disana.
“HAAAHHH….”
Cekrek!
Java terkekeh, ia sudah lelah berlarian ditempat itu, namun Seth sama sekali tak lelah mengambil gambarnya.
Java duduk bersandar dibawah sebuah pohon rindang dengan bunga-bunga kecil diatas daunnya. Ia sama sekali tak percaya ada tempat seindah ini.
Seth ikut duduk disana, tepat disebelah Java. Buat pemuda itu secara spontan menyandarkan kepanya dipundak milik Seth.
“Udah capek?” Tanyanya.
Java mengangguk lemas, “capek tapi rasanya puas banget liat tempat cantik kayak gini.” Ucapnya.
Namun tiba-tiba Java terdiam menatap kearah Seth, “kamu pasti capek ya gendong aku lama, terus foto-fotoin aku dari tadi.”
Seth terkekeh, “kayak kata kamu, capek tapi rasanya puas liat sesuatu yang cantik.” Ucapnya buat Java mendadak gugup.
“Boleh saya bilang sesuatu?”
“Apa itu?” Tanya Java pelan.
Seth nampak menarik nafas panjang, matanya menatap lurus kearah telaga.
“Ini kali pertama saya ngajak orang lain kesini, kamu orang pertama. Sebelumnya tempat ini memang cantik, saya juga sama terkesannya kayak kamu. Tapi waktu saya ajak — maksud saya liat kamu ditempat ini, rasanya tempat ini jauh lebih cantik berkali-kali lipat.” UJarnya.
Java terdiam, jantungnya semakin berdegup kencang.
Sedangkan Seth mulai tersenyum, ia raih tangan Java lalu ia genggam sambil ia usap dengan ibu jarinya.
Ia menoleh, menatap Java dengan tatapan serius.
“Saya cuma mau bilang kalau kamu itu cantik, sangat cantik. Tolong percaya saya.” Ucapnya.
“Seth…”
Laki-laki itu tak menjawab, ia hanya menarik tangan Java yang ia genggam, lalu kemudian ia cium punggung tangannya dengan begitu lembut.
Buat Java seketika gugup bukan main, rasanya seperti tersengat aliran listrik namun membuatnya geli. Java benar-benar tak bisa mendeskripsikan apa yang tengah ia rasakan, namun yang jelas ia merasa sangat senang sekarang.
“Saya benar-benar serius soal itu Java.” Ucapnya tanpa melepaskan genggamannya.
Java nampak menggigit bibir bawahnya pelan, ia sangat bingung harus merespon bagaimana, yang jelas pipinya sudah merah padam sekarang.
“Kamu tau, aku udah sering liat gimana orang-orang muji aku, tapi mereka juga akhirnya campakin aku.” Java menjeda kalimatnya, ia tatap mata pria itu dengan gugup, lalu tatapannya turun pada benda berwarna merah muda itu.
“Kalau emang menurut kamu aku ini cantik, tolong yakinin aku.” Ucapnya.
Tanpa basa-basi, Seth raih rahang pria manis itu, kemudian ia jatuhkan bibirnya diatas bibir milik sicantik.
Java sama sekali tak memberontak, ia biarkan bagaimana Seth buktikan betapa cantik dirinya dipandangan pria itu.
Benda kenyal itu tak hanya sekedar saling menempel, namun juga melumat satu sama lain.
Seth tekan tengkuk sicantik agar cumbuan keduanya semakin intens, lalu lidahnya dengan lihai menelusup masuk lalu mengabsen semua ruang disana.
“Mncchhh… emhhh…” Java melenguh pelan saat benda kenyal tak bertulang itu terus menggodanya.
Tangan mungilnya hanya mampu meremat baju yang Seth kenakan.
“Happy birthday, maaf mungkin ini hadiah terakhir yang bisa aku kasih buat kamu. Tolong simpan ya, sayang.”
“Maaf…”
“Tolong jangan tangisin aku lagi… kamu harus bahagia terus ya? Banyak yang bakal jagain kamu disana. Aku tau kamu kuat sayang.”
“Tuhan bilang kamu boleh ikut aku sekarang.”
“HAAAHHH!!”
Lagi-lagi, suara itu kembali muncul berdenging ditelinganya, hingga buat kepalanya mendadak terasa sangat sakit.
Java meringis kesakitan, tangannya menutup telinganya kuat agar suara itu segera mengihilang.
Seth panik bukan main, berulang kali ia panggil nama pria itu sambil terus menanyakan keadaannya. Namun pria itu sama sekali tak merespon.
“Java tolong jawab saya — ”
“Pulang… tolong… tolong bawa aku pulang Seth…”