“Selamat pak Agam dan bu Miceline, kalian akan jadi orang tua. Lihat, ada janin kecil disini.”
Bak tersambar petir pak Agam menatap nanar layar monitor yang menampilkan gambar ultrasonografi janin yang ada didalam perut Celine, pikirannya benar-benar keruh.
Ia tak bahagia sama sekali dengan kehadiran anak itu, karna ia yakin anak itu bukan lah darah daginya.
“Janinnya sudah 6 minggu, pasti bu Miceline sering merasa mual ya? Atau pak Agam yang ngerasain?” Tanya dokter itu sambil terkekeh pelan.
Pak Agam tak menjawab, suasana hatinya sedang kacau sekarang.
Ia menatap lurus pada Miceline, 6 minggu? Walau saat itu memang ia yang melakukan hal itu pada miceline, bukan kah usia kandungannya belum mencapai 6 minggu.
“Dok, apa bisa dilakukan tes DNA? saya ragu itu bukan anak saya.” Ucap pak Agam buat si Dokter sangat terkejut.
“A-ah.. kalian bukan suami-istri ya ternyata, maaf saya salah sangka. Untuk tes DNA saya tidak menganjurkan sebab sangat beresiko untuk janin, kalau memang mau dilakukan tes DNA setidaknya harus menunggu saat usia kandungan sudah memasuki trisemester akhir.” Jelas sang dokter buat pak Agam berdecak pelan.
Ia tak bisa berbuat apa-apa selain bertanggung jawab pada Celine sekarang, setidaknya sampai tes DNA bisa dilakukan, karna ia sangat yakin kalau janin yang dikandung oleh Celine bukanlah darah dagingnya.
“Baik, terima kasih dok.”
Celine tak banyak bicara, wanita itu hanya menatap pak Agam dengan senyum kemenangan diwajahnya.
Usai melakukan pemeriksaan itu pak Agam pun keluar bersamaan dengan Celine disampingnya. Pak Agam sebenarnya tak mau membawa Celine kembali pulang kerumahnya, namun mau tak mau harus pak Agam lakukan setidaknya sampai janin itu terbukti bukan miliknya.
Saat keduanya tengah berjalan menyusuri koridor rumah sakit, secara kebetulan pak Agam berpapasa dengan Jinan yang datang dari arah berlawanan.
“Jinan.” Panggilnya.
Jinan yang semula tengah berbincang dengan seorang wanita berperut buncit disampingnya itu langsung menoleh kearahnya.
“Pak Agam..” Jinan menatap pak Agam dan seorang wanita disampingnya itu.
Bak disambar petir, Jinan kembali rasakan nyeri didadanya saat dapati pak Agam dan tunangannya tengah berjalan dari area poli obgyn. Ia tersenyum getir, mati-matian menahan agar tak menangis.
Harusnya Jinan yang ditemani oleh pak Agam, bukan wanita itu. Atau memang pak Agam berhak temani wanita itu sebab sudah mengandung janin pak Agam sama sepertinya.
“Wah, siapa ini Jinan?”
“A-anu kak, ini pak Agam. Dosen pembimbing aku waktu skripsian dulu.” Ucapnya tanpa menatap pak Agam.
“Salam kenal, saya Lea. Kakak sepupunya Jinan.” Ucap wanita berperut buncit itu mengenalkan diri.
“Saya Agam, dosennya Jinan.”
Mereka saking tersenyum sambil menjabat tangan masing-masing.
“Pak Agam habis check up kandungan juga ya sama istrinya..” tanya Lea basa-basi sambil tersenyum.
Belum sempat pak Agam menjawab, Celine langsung menggandengan tangan pria itu sambil bergelayut manja disana.
“Iya… barusan selesai.” Ucapnya sambil mengelus perutnya sendiri.
Jinan menggigit bibirnya, menahan perih didadanya. Tenggorokannya sudah sangat tercekat sakit, Jinan tak bisa menahan lebih lama lagi dan langsung menggandeng kakak sepupunya itu untuk segera pergi.
“Jinan — ”baru saja pak Agam ingin menjelaskan, tapi Jinan langsung memotongnya terlebih dulu.
“Kami duluan ya, buat pak Agam selamat atas kehamilan istrinya. Semoga bayinya sehat sampai lahir, sekali lagi saya pamit. Selamat tinggal pak Agam…”