Sesuai dengan apa yang ia rencanakan, keesokan harinya Java benar-benar pergi ketaman. Ia duduk disebuah bangku kayu yang terletak disebuah pohon besar, namun tak rindang sebab daun daun dipohon itu sudah terlihat mengering hingga banyak jatuh berserakan disana.
Java hanya duduk diam memandangi banyak orang yang beraktivitas disana, entah itu piknik keluarga atau sekedar jogging.
Pemandangan seperti ini sangat jarang ia dapatkan, apa lagi dikotanya dulu. Orang-orang dikotanya terlalu sibuk dengan pekerjaan dihari biasa sehingga mereka memilih untuk beristirahat dirumah ketika libur.
“Disini rasanya nyaman banget, lebih nyaman dari pada rumah sendiri.” Monolognya sambil menghela nafas.
Namun secara tak sengaja, matanya menangkap sosok familiar disana.
“Seth?” Gumamnya sambil menyipitkan mata, memastikan bahwa ia tak salah lihat.
Setelah dirasa yakin, Java pun beranjak dari duduknya. Kakinya melangkah mendekat kearah pria bertubuh jangkung itu.
“Hei!” Sapanya.
Seth sontak menoleh, “Oh, hai? Kamu sendiri disini?” Tanya nya.
Java mengangguk sambil tersenyum, “aku refrshing, cari udara segar. Kamu ngapain disini?”
Tanpa menjawab, Seth hanya tunjukkan kamera kecil yang tengah ia genggam, buat Java seketika mengangguk paham.
“Kamu lagi kosong hari ini?” Tanya nya lagi.
“Iya, kemarin job terakhir buat minggu ini.” Jelasnya buat Java mendecih.
“Dasar photographer picky.” Cibirnya, buat Seth terkekeh.
Namun kemudian pemuda itu teringat akan satu hal, tentang apa yang pernah mereka bicarakan kemarin.
“Maafin saya buat yang kemarin.” Ucapnya.
Java mengerutkan dahinya bingung, “maksudnya?”
“Saya gak bermaksud bilang begitu. Saya baru tahu tentang kamu dan berita kamu.” Ucapnya.
Java seketika menunduk dengan senyum canggungnya, ia akhirnya ingat tentang apa yang Seth maksud.
“It’s okay, apa yang kamu bilang kemarin itu fakta kok.” Ucapnya.
Seth berdehem pelan, ia bingung harus merespon apa. “Ayo ikut saya.” Titahnya.
Java pun menurut, ikut membuntuti Seth yang sudah berjalan mendahuluinya. Hingga keduanya pun duduk disalah satu bangku kosong disana.
Seth masukkan kedua tangannya kedalam saku blazer yang ia pakai, lalu menatap lurus kedepan.
“Kamu itu cantik.” Ucapnya buat Java tersentak kaget.
“Jadi photographer itu bukan cuma tentang ambil gambar, terus dapetin objek yang cantik. Photographer itu bukan sekedar profesi, Photographer itu harus punya jiwanya sendiri.” Tuturnya panjang lebar buat Java terdiam.
“Sama kayak halnya waktu kamu ngelakuin sesuatu itu apa tujuannya. Apa karena sesuatu yang bernilai, atau karna kamu suka ngelakuinnya. Hasilnya jelas beda.”
“Yang mau saya jelaskan disini itu tentang saya yang ragu sama skill photographer kamu. Kalau dia memang photographer profesional dia gak akan gagal. Apa lagi dapat objek secantik kamu.” Sambungnya, lalu menoleh kearah Java.
Java terkekeh pelan, “sombong” ucapnya.
Seth hanya tersenyum kecil, lalu kembali mengalihkan atensinya.
“Sebelum kamu, udah banyak orang yang beranggapan gitu. Aku udah sering gonta ganti photographer, tapi semuanya sama aja.”
Java tersenyum kecut lalu menatap lurus kedepan, “kamu gak perlu hibur aku, aku udah biasa ada diposisi kayak gini — ” ia tampak menarik nafasnya lalu menghembuskannya dengan kasar.
“Aku emang gak cocok buat dijadiin objek, aku ini jelek. Dan aku terima kenyataan itu.” Sambungnya lalu tersenyum.
Bukannya prihatin Seth justru tertawa pelan.
“Baru kali ini ada yang ngeraguin selera saya.” Ucapnya, buat Java bingung.
Ia menoleh lalu menatap Java dengan senyumnya.
"If i say you’re pretty, it means you’re pretty.” ucapnya.
Jantung Java seketika berdegup kencang, entah mengapa ia merasa sangat gugup sekarang.
“Wha — what if i don’t believe you?”
“Then be my object, and i will be the lens. Nanti kamu akan tau secantik apa kamu disudut pandang saya.”