Setelah membalas pesan dari Jinan, pak Agam langsung bergegas menuju kamarnya, tak lupa membawa bantas dan selimutnya yang tadi sempat ia bawa keluar.
Klek
Ia buka pintu kamarnya yang memang tak dikunci itu, pandangannya langsung tertuju lurus menatap Jinan yang tengah meringkuk didalam selimut tebal itu. Buat pak Agam khawatir dan buru-buru menghampiri.
“Sayang…” panggil pak Agam sambil mengusap lembut pundak Jinan.
Jinan membalikkan tububnya kearah pak Agam, menatap wajah suaminya itu dengan mata sembanya.
“De, kenapa nangis sayang?” Tanya pak Agam khawatir.
Ditanya begitu justru buat Jinan semakin emosional, dan langsung memeluk suaminya itu erat.
Pak Agam yang dipeluk pun langsung balas pelukan itu sambil mengusap punggungnya lembut, ingin menenangkan perasaan suaminya itu.
“Maafin mas ya sayang, mas salah dulu bikin kamu susah skripsian… mas khilaf dulu, maafin mas ya… mas sayang banget sama kamu dede sayang…” ucap pak Agam lembut sambil memciumi surai legam Jinan.
Jinan mengangguk sambil mengeratkan peluknya, menghirup dalam-dalam aroma yang menyeruak harum dari tubuh suaminya.
“Dede juga minta maaf ya mas… maafin dede udah ungkit-ungkit masalah lama terus marah sama mamas… dede pasti nyebelin banget ya mas? Padahal mas sayang sama dede, sama Gama..” ucap Jinan dengan suara paraunya.
Pak Agam elus punggung kecil itu dengan lembut, “nggak apa-apa sayang, mas ngerti kenapa sayang marah… mas emang salah waktu itu maafin mas ya?”
Jinan menggeleng, “mas engga salah… aku nya aja yang lebay, ributin masalah lama yang udah kadaluarsa.”
Pak Agam tersenyum lalu melepaskan pelukannya, kemudian ia tangkup pipi Jinan dengan kedua tangannya. Ia tatap mata sembab itu dalam-dalam sambil hapus jejak air matanya.
“Yaudah berarti kita sama-sama salah ya? Sayang maafin mas kan?” Tanya nya yang langsung dibalas dengan anggukan oleh Jinan.
Mereka pun kembali berpelukan dengan erat, melampiaskan rasa sayang dan cinta yang mereka rasakan itu. Lalu mereka pun segera mengambil posisi untuk tidur dengan pak Agam yang memeluk Jinan dari belakang.
Jinan tersenyum, hangat dan harum seperti biasa yang sering membuatnya terlelap nyaman.
Ia usap lengan pak Agam yang tengah memeluk perutnya itu dengan lembut, buat pak Agam seketika reflek memepetkan tubuhnya dan menempelkan dagunya pada pundak Jinan.
“Aku baca semua tweet mamas waktu kita break dulu… waktu aku tinggalin mas pergi… mas ternyata juga kangen aku, sama kayak aku kangen mas…”
Pak Agam tersenyum lalu mendusali leher Jinan, buat Jinan seketika menggeliat kegelian.
“Gimana nggak kangen, hidup mas itu dari dulu sepi. Mas nggak punya teman bicara, makanya bicaranya sama twitter… tapi semenjak ada kamu, mas rasanya punya seseorang gitu… seseorang yang bikin hidup mas nggak terasa sepi kayak dulu” ucapnya.
Jinan tersenyum, “terus aku juga baca gimana keseharian kamu waktu ngurus cewek itu… aku kira kamu bakal happy, ternyata kamu juga tertekan ya mas… ternyata kamu lebih menderita dari pada aku…”
Pak Agam terdiam, memori diotaknya secara otomatis memutar kembali kejadian-kejadian lampau yang tak ingin ia ingat lagi itu.
Pak Agam tersenyum, “kita sama-sama menderita, mungkin itu cara tuhan hukum kita. Tapi tetap bersyukur karna tuhan tetap mau jodohin kita..” ucapnya.
Jinan ikut tersenyum, nyatanya kehidupan rumah tangga tak semenakutkan yang ia kira. Semuanya akan mudah, jika suaminya pak Agam.
“Enggghh eegggahh~… gaaggaa~..”
Jinan dan pak Agam saling menatap, kemudian terkekeh pelan, menatap pada bayi kecil mereka yang tiba-tiba terbangun dari tidurnya.
“Kayaknya Gama kangen sama yayahnya, makanya nggak nyenyak tidurnya..”