Siang itu, Shion sampai dikediaman Seth dan Java. Ia telah usai dengan urusan kecilnya, hanya sekedar berkunjung ke sebuah panti asuhan kecil dikota itu.
Sejak kecil Shion selalu bercita-cita menjadi seorang relawan kemanusiaan, maka saat mulai beranjak dewasa, ia sangat aktif mengikuti banyak kegiatan sosial.
Shion hanya ingin membuat anak-anak yang tinggal bersama disebuah rumah asuh itu tak merasa malu, sama sepertinya dulu. Sejak pertama kali ia menginjakkan kaki dirumah asuhnya dulu, Shion selalu merasa beruntung karna bisa merasakan suasana hangat didalam rumah.
Klek
Ia dorong knop pintu itu hingga terbuka lalu kakinya mulai melangkah masuk kedalam. Namun saat masuk, ia justru mengendus bau yang masakan yang menyeruak hingga kepenjuru rumah.
Sejenak, ia pikir itu adalah ulah dari beberapa pekerja rumah tangga yang bekerja disana, namun saat ia sampai kedapur matanya justru membelalak kaget.
“Jerremy?”
Jerremy yang tengah fokus dengan masakkannya itu sama sekali tak menoleh, ia tampak serius bermain-main dengan wajan dan spatulanya.
Shion melangkah mendekat, ingin melihat apa yang sedang dimasak oleh lelaki itu.
“Woahhh…”
Jerremy akhirnya sadar, bahwa ia sedang diperhatikan.
“Kamu bisa masak?” Tanya nya tak percaya.
Jerremy menganggukkan kepalanya sambil tersenyum canggung, “iya, dulu waktu ditahanan saya diajarin untuk masak.” Jelasnya.
Shion langsung mengacungkan dua jempolnya kearah pria itu, ia benar-benar kagum sekarang.
“Jarang loh laki-laki kayak kamu mau belajar masak, kecuali kalau kamu sama kayak aku sama Java.”
Jerremy terkekeh, “enggak kok, saya pilih masak karna rasanya lebih bermanfaat aja. Bisa kasih orang makan dengan tangan sendiri, rasanya senang aja, apalagi kalau orang itu suka sama apa yang saja sajikan.” Ucapnya.
Seketika Shion langsung memiliki sebuah ide cemerlang dikepalanya, “Jerremy, kamu mau ikut jadi relawan kemanusiaan bareng aku?”
“Apa itu?” Tanya nya.
Dengan senyum lebar, Shion jelaskan semua kegiatan dari komunitas sosialnya itu. Dari memberikan bantuan seperti dana, bahan pokok makanan, tenaga pengajar, sampai makanan yang mereka buat sendiri dan kemudian dibagikan ditiap hari tertentu.
“Interesting, saya belum pernah ikut kegiatan sepeti itu sebelumnya. Bisa kamu jelaskan apa yang bisa saya lakukan?”
Shion kembali tersenyum, “kamu bisa masakin makanan yang enak buat mereka, aku jamin mereka pasti suka makanan kamu.” Ucapnya.
Jerremy nampak berfikir sejenak, namun setelah difikirkan lagi Jerremy lebih baik ikut kegiatan sosial seperti itu. Dibandingkan menjadi pengangguran yang tak punya pekerjaan tetap.
Maka ia pun mengangguk setuju sebagai balasan, sambil tersenyum “kapan saya bisa ikut kegiatan itu?” Tanya nya.
“Lusa?”
“Sayang sini sama Baba dulu, kasian itu Dadda nya susah sambil gendong kamu.” Seth sedari tadi tak henti-hentinya membujuk putra semata wayangnya itu untuk berpindak kegendongannya.
Sejak kepulangan mereka kemarin, Zion sama sekali tak memberikan celah bagi Java untuk beristirahat. Kemanapun Java pergi anak itu selalu ingin ikut, tak mau lepas bagaikan perangko.
“Udah nggak papa, adek kayaknya kangen sama aku makanya gamau jauh-jauh. Iya kan, sayang?”
Pria kecil itu mengangguk setuju sambil mengeratkan peluknya pada Java.
Seth menghela nafasnya sejenak, ia tau walupun berkata seperti itu Java pasti sangat kelelahan.
“Kalo nggak nurut nanti Baba sita tablet kamu.” Ancam pria itu, buat sikecil merengut sebal.
“Dadda…” rengeknya pada Java, namun Java juga tak bisa berbuat banyak. Karna jika Seth sudah mengatakan sesuatu, maka itu akan jadi keputusan mutlak yang tak bisa dibantah.
“Sama Baba dulu ya, punggung Dadda pegel… soalnya adek kan makin besar.” Ucapnya.
Anak itu mendengus pelan kemudian berpindah kegendongan Seth. Java tersenyum, putra sematawayangnya itu benar-benar sangat menyayanginya.
“Dadda jangan jauh jauh..”
“Iya sayang, Dadda disini kok.”
Mereka pun berpindah dari dapur menuju ruang bersantai lalu duduk disana, dengan Seth yang memangku putra kecil mereka sementara Java duduk disebelahnya sambil menyuapi makanan.
“Besok-besok belajar makan sediri ya? Kan adek udah gede, masa disuapin terus sama Dadda. Malu nanti sama temen.” Ucap Seth sambil mengelus surai legam putra kecilnya.
“Nggak mau, kalo disuapin Dadda rasanya beda, jadi lebih enak. Baba juga sering disuapin Dadda, adek suka lihat.” Ucap anak itu buat Seth dan Java saling memandang, kemudian terkekeh pelan.
“Pokoknya jangan sering-sering minta suapin sama Dadda, kasian nanti Dadda capek terus sedih.”
Anak itu sama sekali tak menghiraukan, ia hanya mengunyah makanannya sambil memainkan miniatur mobilnya.
“Good morning…” Jerremy turun dengan pakaian rapihnya, buat Seth dan Java bertanya-tanya mau kemana pria itu dengan pakaian rapih dihari libur.
“Buba mau kemana?”
Jerremy tersenyum sambil mengusap surai keponakannya itu dengan lembut, “ada kerjaan sama Bubu kamu.” Ucapnya.
Buat Java terkejut lalu memandang kearah Seth dengan tatapan bertanya-tanya.
“Sama Shion?” Tanya Seth memastikan.
Jerremy mengangguk, “Shion ajak saya ikut kegiatan komunitas sosialnya, saya tertarik jadi saya ikut.” Ucapnya.
Seth dan Java kompak mengangguk paham, namun Java diam-diam mengulum senyumnya. Karna ia fikir mungkin ini bisa jadi tahap pendekatan antara Jerremy dan Shion.
“Mau ikut Buba…”
“Jangan, gaboleh. Kalo adek ikut Buba Dadda sedih, katanya adek kangen Dadda… kok malah mau ninggalin Dadda?”
Seth terkekeh, ia tau apa yang sedang direncanakan oleh suaminya itu.
“Iya, adek dirumah aja sama Dadda sama Baba, nanti kita main pistol air lagi ditaman..” bujuk Seth.
Anak kecil itu pun akhirnya setuju untuk tinggal, buat Jerremy terkekeh pelan, anak kecil memang sangat polos dan mudah dipengaruhi.
“Yaudah kalau gitu saya berangkat dulu, have a good day…” pamitnya sambil mencubit pipi keponakannya itu gemas.
Seth mengangguk sambil tersenyum, “kalau butuh sesuatu telfon saya.”
“Jangan khawatir.”
Lalu Jerremy benar-benar pergi meninggalkan keluarga kecil itu untuk menikmati family time mereka.
Berbekal sebuah share location yang Shion kirim padanya, Jerremy telusuri tiap rute yang ditunjukkan oleh aplikasi maps itu.
Hingga akhirnya rute itu membawanya kedaerah pinggiran kota yang nampak masih sangat asri dan ditumbuhi beberapa pohon besar.
Jerremy pun akhirnya menemukan sebuah bangunan dua lantai yang terletak dipinggir jalan, ia pun memarkirkan mobilnya dibawah sebuah pohon besar yang tak jauh dari sana.
Dari kejauhan ia dapat lihat Shion yang tengah bermain bersama anak-anak disana, sudut bibirnya tanpa sadar terangkat naik.
“Dia kayaknya memang suka anak-anak..” gumamnya.
Kemudian ia membuka bagasi mobilnya lalu mengeluarkan dua kardus berisi bahan-bahan masakan yang akan ia masak disana.
Ia pun dengan mandiri mengangkat dua kardus itu dengan cara ditumpuk sendiri.
“Loh Jer, kok nggak bilang udah sampe? Eh taroh dulu kardusnya.” Titah Shion panik melihat pria itu mengangkat barang berat sendirian.
Jerremy pun menurunkan barang bawaanya, “nggak apa-apa, anyway ini ditaroh dimana?” Tanyanya.
“Taroh disana aja, kita rencanya mau makan diluar ala-ala piknik gitu.” Ucapnya.
Jerremy mengangguk pelan, lalu kemudian mereka pun mulai menyiapkan alat-alat masak seperti wajan, meja, dan kompor yang mereka angkut dari dalam.
Tentu mereka tak bergerak sendiri, anak-anak disana ikut membantu mereka, karna anak-anak itu sangat senang saat Shion berkata mereka akan melakukan piknik untuk pertama kalinya.
“Sini aku bantuin, ayo kasih tau aku mana yang harus aku kerjain.” Ucap Shion semangat.
“Aku juga mau bantu! Aku juga! Aku mau juga!” Ucap anak-anak yang lain antusian, buat Jerremy tertawa pelan.
Ia merasa sangat senang melihat bagaimana raut bahagia nan antusias itu menatapnya.
“Kalian bisa bantu saya buat cuci sayur sama buah nya?”
“Bisa!” Jawab anak-anak itu kompak lalu langsung membawa beberapa kantung buah dan sayur itu kearah keran air yang menyala disana.
“Mereka semua tinggal disini?” Tanya Jerremy menatap anak-anak kecil yang jarak usianya itu nampak tak jauh beda.
Shion mengangguk sambil tersenyum, “iya, mereka tinggal disini sama satu ibu asuh mereka.” Jawabnya.
Jerremy memandang iba anak-anak itu, sambil berfikir dimana para orang tua mereka.
“Mereka dititipin disini macem-macem alesannya, ada yang orang tuanya nggak mampu biayain mereka, ada juga yang emang nggak mau ngurusin mereka.” Shion menghembuskan nafasnya pelan.
“Tapi walaupun gitu, seenggaknya disinu mereka nggak kesepian dan punya banyak temen.”
Jerremy mengangguk setuju, “semua orang memang bisa punya anak, tapi nggak semuanya bisa jadi orangtua.” Ucapnya buat Shion tertegun, Jerremy memang benar batinnya.
“Om kami udah selesai cuci buahnya!”
“Sayurnya juga udah!”
Jerremy tersenyum lalu mengangkat sayur dan buah yang sudah bersih itu keatas meja, “terimakasih ya, karna kalian udah bantu, saya punya hadiah untuk kalian.” Ucapnya.
Anak-anak itu kompak bersorak senang buat Jerremy lagi-lagi terkekeh pelan. Ia pun membuka sebuah kardus besar yang ia bawa tadi, lalu membagiakan beberapa buku, alat tulis dan gambar, terta beberapa mainan.
Shion agak terkejut, pasalnya ia kira pria itu hanya membawa bahan-bahan masakan untuk kegiatan mereka hari ini.
Pun Shion tahu benar kalau barang-barang itu bukanlah barang murah sembarangan yang dijual dengan harga murah.
“Jer?”
Jerremy hanya tersenyum sambil mengusap surai Shion lembut, “sekarang giliran kamu yang bantu saya.” Ucapnya.
Shion terkekeh sambil mengangguk pelan, “makasih ya, mereka pasti nggak akan lupain kamu dan apa yang kamu kasih untuk mereka.”
Jerremy lagi-lagi tersenyum.
“Tolong kupas buahnya, terus kamu potong dadu.” Tithanya.
Shion mengangguk paham lalu mulai melakukan pekerjaannya, sementara Jerremy juga mulai melakukan bagiannya. Memotong daging dan menyiapkan beberapa bumbu masakan.
Saat Jerremy berkutat dengan wajannya, Shion tak bisa berhenti untuk memandangi wajah pria itu. Wajah tampan itu nampak sangat serius dengan masakannya, buat Shion jadi tak fokus dengan pekerjaannya, hingga mata pisau yang ia pakai untuk memotong buah itu ikut mengiris jarinya.
“Akh!”
Jerremy sontak mengalihkan atensinya dan menadapati Shion dengan jarinya yang sudah bermuran darah.
Tanpa pikir panjang Jerremy langsung matikan kompornya lalu menarik Shion kearah keran air untuk mencuci luka pria itu.
Jantung Shion berdegup kencang saat lihat bagaimana pria dewasa itu mengambil alih dirinya.
“Sakit?” Tanya Jerremy.
Shion sedikit meringis saat obat merah itu diteteskan diarea lukanya.
“Maaf…”
Jerremy menghela nafasnya pelan, “saya khawatir sama kamu, kamu malah khawatir sama masakannya.”
Pipi Shion tiba-tiba bersemu merah, ternyata pria itu benar-benar mengkhawatirkannya.
“Kamu duduk bareng anak-anak aja disana, biar saya selesain masakannya.”
“Tapi — ”
“Nurut sama saya.” Titah Jerremy, buat Shion terdiam tak dapat berkutik.
Ia hanya bisa mengangguk patuh dan biarkan pria itu kembali berkutik dengan masakannya, sementara ia hanya duduk dan menatapnya dari kejauhan.
“Kakak suka ya sama kakak itu?”
“Iya…. Eh — ”
Shion tiba-tiba terkejut dengan jawbannya sendiri, buat anak dengan boneka kelinci ditangannya itu tertawa pelan.
“Aku nggak akan kasih tau kok, aku bisa rahasiain ini.” Ucapnya.
“Kavi janji sama kakak?”
Anak itu mengangguk cepat sambil mengacungkan jari kelingkingnya, “janji!”
Shion terkekeh pelan lalu membawa anak itu kedalam pelukannya.
Kavi seorang anak laki-laki berusia sekitar 6 tahun itu memang sangat dekat dengan Shion. Sejak kedatangannya dua tahun yang lalu dipanti itu, anak itu tampak malu dan enggan bergaul dengan anak-anak lain, namun saat dengan Shion anak itu menjadi sangat aktif dan ceria.
“Aku juga suka sama kakak itu, kakak itu baik seperti kakak.” Ucapnya.
Shion terkekeh pelan sambil mengangguk, “makanya kakak suka.”