Sore itu cuaca tampak cerah, semilir angin bertiup buat helaian rambut Jinan nampak bergerak lembut.
Tanpa terasa 17 tahun sudah berlalu dengan begitu cepatnya, selama itu juga Jinan sudah rasakan asam manis kehidupan rumah tangganya.
Layaknya kehidupan rumah tangga pada umumnya, semuanya tak berjalan mulus. Ada kalanya ia dibuat senang, namun juga dibuat sedih.
Seperti sekarang, Jinan tengah asyik menyirami tanaman dipekarangan rumahnya. Sambil menunggu kepulangan anak dan suaminya, agar bisa langsung ia sambut dengan senyum manisnya.
BRUUMM
Jinan menoleh, mendapati putra semata wayangnya yang baru saja sampai dengan motornya. Ia buru-buru matikan selang airnya lalu menghampiri Gama yang baru saja turun dari motornya.
“Hai cantik” sapa Gama sambil tersenyum lalu memeluk Jinan.
“Kebiasaan! Ntar kalo bapak lu denger bisa ngambek!” Jinan menepuk pundak putranya itu pelan sambil terkekeh.
“Mang gua pikirin, lagian udah tua si yayah masih aja cemburuan, mana sama anak sendiri lagi.” Ucapnya yang langsung dihadiahi sebuah pukulan pelan dari Jinan.
“Gitu-gitu dia bapak lu Gama! Lagian kalo dia cemburu kan bagus, artinya kecintaan ama gue.”
Gama hanya merespon dengan kekehan pelan, lalu tak lama berselang sebuah mobil sedan putih masuk ke pekarangan rumah mereka. Tentu mereka sudah hafal siapa pemilik dari mobil itu.
“Panjang umur tuh suaminya, pah.” Ucap Gama.
“Gama lu kayak nggak diajarin anjir! Yayah! Panggil yayah!” Ucap Jinan kesal.
“Hehehe iya, panjang umur si yayah. Baru diomongin langsung nongol.”
Tak lama kemudian pak Agam keluar dari mobilnya sambil menenteng tas laptopnya, wajahnya memang sudah tak sekencang dahulu, seperti saat pertama kali Jinan lihat. Beberapa kerutan tanda penuaan mulai muncul, tapi walaupun begitu senyum pak Agam tak pernah luntur.
“Sore mas…”
“Sore, yayah..”
Sapa suami dan putranya menyambut kepulangannya, buat senyum pak Agam kian melebar. Ia peluk suami dan putranya bergantian lalu ia cium dahi Jinan dengan lembut.
“Udah lama ya nungguin?” Tanya nya.
Keduanya kompak menggeleng, “nggak kok, aku tadi lagi nyiramin taneman kayak biasanya terus nggak lama Gama pulang.” Ucap Jinan.
Pak Agam mengangguk pelan, lalu ia rangkul pinggul Jinan sambil memberikan tasnya pada Gama, buat anak itu mau tak mau membawakannya dengan raut sebalnya. Jinan yang melihat hal itu hanya terkekeh pelan.
“Ayo masuk, yayah laper.” Ucap pak Agam sambil menuntun Jinan untuk masuk, sementara Gama mengekor dibelakang mereka.
“Gini banget nasib jadi Gama, waktu kecil jadi mainan.. udah gede jadi nyamuk. Minimal kasih adik kek! Biar susahnya nggak sendirian.”
“Papaaahh~…” Gama turun dari kamarnya dengan wajah lesu, lalu menghampiri Jinan yang tengah duduk bersantai sambil menonton tv dengan pak Agam disebelahnya.
Pak Agam dan Jinan kompak menoleh, menatap kearah Gama yang baru saja datang. Tanpa permisi anak itu langsung ikut duduk lalu berpindah posisi dengan membaringkan kepalanya dipangkuan Jinan.
“Kenapa, sayang?” Tanya Jinan lembut sambil menyisir surai legam putranya itu lembut.
Pak Agam melirik sekilas, tak mau kalah ia ikut rebahkan kepalanya dipundak Jinan sambil memeluk lengan suaminya itu erat.
Jinan yang paham akan situasi ini hanya terkekeh pelan, baik Gama maupun pak Agam sama-sama tak pernah mau mengalah.
“Capek ngerjain soal mulu, kenapa didunia ini harus ada test masuk kuliah?” Eluh Gama.
Jinan terkekeh, “alah-alah… kesiannya anak bujangku~… sini-sini papah peluk biar capek nya ilang.”
Pak Agam yang mendengar hal itu langsung menghela nafasnya pelan, “udah gede masih suka dipeluk papah, malu sama badan.” Ucapnya.
Gama langsung bangkit dan merotasikan matanya, “ngapain malu, orang yang dipeluk papah kok. Masa Gama harus peluk orang lain…”
Jinan mengangguk setuju sambil memeluk tubuh besar putranya itu dengan erat, “betul tuh, justru bagus dong kalo anakku masih mau manja sama aku. Lagian wajar kok, Gama pasti capek. Disekolah sibuk organisasi, ikut exkul, terus pulangnya harus bimbel terus dirumah masih belajar lagi. Wajar kalo Gama suka minta peluk tuh… kamu aja tiap malem minta peluk sama aku…” ucapnya sambil mengelus surai putranya itu lembut.
“Yayah tiap malem minta peluk sama papah?” Tanya Gama pura-pura terkejut, padahal memang sudah tau.
Jinan mengangguk cepat, “iya tuh, kadang sampe ngerengek kalo papah lama kayak lagi mandi. Diburu-buruin biar bisa cepet-cepet ngelonin yayah kamu.” Ucapnya sambil melirik pak Agam.
Jangan tanyakan bagaimana keadaan pak Agam, ia sangat malu sekarang. Niat hati ingin memisahkan saingan kecilnya itu, justru rahasia diumbar begitu saja. Wajah pak Agam merah padam, ia langsung bangkit dari duduknya lalu berbegas masuk kekamarnya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
“Tuh ngambek tuh… dasar si yayah, cemburuan kok sama anak sendiri.” Cibir Gama.
“Elu sih mancing-mancing, jadi oversharing kan gue.” Ucap Jinan menggeplak putranya itu.
Gama cuma tertawa pelan sambil mengeratkan peluknya pada Jinan, lalu mendusal diceruk pria itu. Jinan tersenyum sambil usap punggung putra nya itu lembut, ia senang walau Gama sudah beranjak dewasa, anak itu tak berubah atau gengsi padanya.
Dimatanya Gama akan selalu menjadi bayi kecilnya yang rapuh.
“Udah ah, mending tidur. Besok masih sekolah, ntar lu kesiangan.” Ucap Jinan melepaskan pelukannya.
Gama mengangguk pelan, lalu keduanya bangkit dan bergegas kekamar Gama. Gama langsung membaringkan tubuhnya diranjang miliknya sementara Jinan duduk dipinggir ranjang sambil memgusap-usap lembut rambut putranya itu.
“Cepet banget sih lu gedenya, perasaan kemaren masih bayi deh.” Gumamnya.
“Ya kalo bayi terus ntar papah yang panik sendiri.” Ucapnya buat Jinan terkekeh pelan.
“Iya juga ya.. nggak kebayang… yaudah kalo gitu papah ke yayah ya.” Pamit Jinan.
Gama mengangguk pelan sebagai jawaban, Jinan kemudian tersenyum lalu mencium dahi putranya itu lembut.
“Pah, hidup lebih lama ya. Gama mau liat papah bangga nanti kalo Gama udah jadi dokter.” Ucapnya yang entah mengapa buat Jinan sedikit terharu hingga tanpa sadar meneteskan air matanya.
Jinan mengangguk sambil mengusap sudut matanya, “iya sayang, Gama juga semangat belajarnya.. papah sama yayah bakal selalu usahain yang terbaik biar Gama bisa capai cita-cita Gama.” Ucapnya.
Gama mengangguk sambil tersenyum, “makasih pah, nanti tolong bilangin ke yayah kalo Gama minta maaf masih sering manja sama papah. Malam papah cantik…”
Jinan terkekeh pelan, sambil mengangguk pelan. “Malam anak ganteng, sleep well ya..” ucapnya lalu melangkah keluar kamar dan menutup pintu kamar itu dengan rapat.
Ia kemudian langsung bergegas menuju kamarnya, tentunya dengan misi yang belum selesai, yaitu membujuk pak Agam yang tengah merajuk.
Klek
Ia buka pintu kamarnya dan langsung mendapati pak Agam yang sudah berbaring membelakanginya. Jinan tersenyum sambil menggelengkan kepalanya pelan, ia kadang tak habis pikir dengan pak Agam yang semakin hari semakin cemburuan itu.
“Sayang..” panggilnya manja ditelinga pria itu.
Namun tak ada sahutan, sepertinya pria itu benar-benar merajuk.
“Sayang nggak mau kelon nih? Gama udah bobo loh…” bujuknya sambil mengusap tangan pak Agam lembut.
“Kelonin Gama aja sana, kan sayangnya sama Gama.” Ucapnya.
Jinan menghela nafasnya pelan lalu menarik lengan pak Agam hingga berbaring menghadapnya. Ia kemudian berbaring disebelahnya sambil menghadap kearah pria itu.
“Mas ngambek ya sama aku? Maaf deh kalo gitu..” ucapnya seraya menangkup pipi pak Agam sambil mengelusnya dengan lembut.
“Aku tuh sayaaaanggg sama mas, sayang banget lebih dari diriku sendiri.” Sambungnya, namun pak Agam masih merengut.
“Lebih dari Gama nggak?” Tanyanya.
Jinan terkekeh sambil mengangguk pelan, “aku sayang kalian lebih dari diri aku sendiri mas, tapi kalo sama Gama udah pasti — ”
“ — Gama kan?” potong pak Agam buat Jinan sebal lalu mencubit pipi pria itu pelan.
“Emang kenapa sih, cemburuan banget sama Gama, Gama tuh anak kita loh mas.” Ucapnya.
Pak Agam tak menjawab, ia hanya melingkarkan kedua tangamnya dipinggul Jinan.
“Aku cuma mau nikmatin masa-masa aku jadi papahnya Gama, sebelum nanti Gama udah bisa mandiri tanpa kita. Aku cuma nggak mau nyia-nyiain waktu sama anakku, setelah itu aku pastiin deh semua sayangku aku kasih buat mas.” Jelasnya.
Pak Agam terkekeh pelan, padahal awalnya ia tak berniat merajuk seperti itu. Ia hanya kesal sebab Gama meledeknya tadi, namun melihat respon Jinan yang mengkhawatirkannya itu buat pak Agam jadi ingin pura-pura merajuk.
Pak Agam mengangguk, lalu ia cium bibir Jinan sekilas.
Chup
“Mas nggak ngambek sih sebenernya, tapi liat muka panik kamu bujukin mas jadi bikin mas pengen jahilin kamu” ucapnya.
Jinan terkekeh pelan lalu mencubit hidung suaminya itu gemas, “dasar, jadi nggak ngambek kan mas?”
Pak Agam menggeleng, “enggak sayang…” jawabnya sambil mengusap punggung Jinan lembut.
Jinan tersenyum lalu kecup bibir suaminya itu dengan lembut, kemudian ia tatap mata suaminya itu lekat.
“Aku sayang mas Agam.” Ucapnya.
Pak Agam tersenyum, “mas lebih sayang kamu Jinan, mahasiswa nakal.” balasnya buat Jinan tertawa, mengingat bagaimana awal mula kisah diantara mereka.
“Siapa tuh dulu yang bilang ‘kamu jangan baper sama saya, saya cuma khilaf’ alaahh… sekarang nggak bisa tuh liat aku cantik dikit, pasti langsung bangun juga yang bawah” ucap Jinan buat pipi pak Agam memerah mengingat saat pertama kalinya mereka melakukan adegan dewasa.
“Ini kalo Gama tau habis kamu diledek — ” belum sempat Jina menyambung kalimatnya, pak Agam langsung mencium bibir nya tanpa permisi.
Melumat ranum tebal itu lembut, mengecap bilah atas dan bawah bergantian buat Jinan mau tak mau mengikuti permainan itu.
Kedua tangannya dengan manis bertaut dipundak suaminya, sementara sebelah tangan pak Agam bergerak menekan tengkuk Jinan untuk memperdalam cumbuannya.
“Mmmcchhh~…” Jinan remat surai legam yang lebih tua saat rasakan benda lembut tak bertulang menelusup masuk, mengacak-acak isi mulutnya.
Pak Agam tersenyum disela-sela cumbuannya, sambil menelusupkan sebelah tangannya kedalam baju Jinan.
“Eemmchhh~… hmmmhh…” dada Jinan membusung saat rasakan elusan lembut pada putingnya.
Jinan paham kode ini, pak Agam ingin mengajaknya untuk bersenggama. Jinan tentu tak menolak, dari sekian banyak kegiatan yang sering mereka lakukan bersama, kegiatan panas ini lah yang menjadi favorit mereka.
Jinan tak mau kalah, ia ikut beri efeksi untuk sang suami. Ia usap dada bidang pak Agam sensual sambil menekan-nekan bagian nipplenya dari luar.
Pak Agam sudahi cumbuannya lalu menatap Jinan dengan tatapan sayunya, buat Jinan terkekeh pelan.
Baru digoda sedikit namun pak Agam langsung terpancing.
“No kondom ya, sayang?” Pinta pak Agam dengan wajah melasnya.
Jinan mengangguk sambil tersenyum, “boleh mas sayang, udah lama perutku nggak diangetin sama kamu.”
Usai lakukan adegan panasnya, Jinan dan pak Agam kini tengah berbaring dengan pak Agam yang memeluknya dari belakang.
Jinan sangat suka posisi ini, sebab bisa rasakan hangat saat punggungnya menempel dengan dada pak Agam.
“Kamu tau nggak, tadi Gama bilang gini sama aku, ‘papah hidup lebih lama ya? Gama mau liat papah bangga waktu Gama udah jadi dokter nanti.’ Sedih banget tau, aku reflek nangis.” Ucapnya.
Pak Agam diam mendengarkan, sambil mencium puncak kepala Jinan dengan sayang.
“Nggak kerasa bayi yang dulu suka joget-joget itu sekarang udah gede dan serius mau gapai cita-citanya..” sambungnya dengan nada sedih.
Pak Agam tersenyum sambil mengangguk, “tapi bener kok, kamu harus hidup lebih lama. Karna Gama jauh lebih butuh kamu dari pada mas.” Ucapnya buat Jinan semakin sedih lalu membalikkan tubuhnya menghadap pak Agam.
“Mas apaan sih! Ngomongnya jelek!” Protesnya sambil memukul dada pak Agam pelan.
“Mas juga harus hidup lebih lama, karna aku butuh mas. Percuma aku hidup lama tapi tanpa mas, yang ada aku sakit-sakitan terus nyusul mas.” Ucapnya dengan suara bergetar membayangkan bagaimana ia dan pak Agam akan dipisahkan oleh maut nanti.
Pak Agam terkekeh, “nggak mungkin Gama biarin kamu sakit-sakitan, dia pasti udah jadi dokter nanti.” Ucapnya.
“Apasih mas… sedih… males!” Jinan langsung memeluk tubuh suaminya itu erat, menyembunyikan kesedihannya itu disana.
“Mas nggak boleh pergi duluan ya! Nggak boleh! Kalo bisa kita perginya bareng aja!” Ucapnya sambil terisak kecil.
Pak Agam tersenyum sambil mengusap punggung polos itu dengan lembut, bohong jika pak Agam tak sedih sekarang. Ia sama takutnya seperti Jinan, ia takut Jinan duluan lah yang akan meninggalkannya sendirian.
Waktu Jinan menghilang dari kehidupannya dulu saja sudah sangat menyakitkan, apa lagi jika ditinggal untuk selama-lamanya, bisa-bisa pak Agam gila.
“Iya, semoga nanti tuhan bisa panggil kita barengan ya sayang…” ucapnya.
Jinan mengangguk, lalu kemudian mendongak menatap pak Agam, “kalo kita pulangnya barengan, kasian Gama… dia sendirian ih…”
Pak Agam terkekeh, “kalo gitu kita usahain untuk hidup yang lamaaa sampai Gama punya pasangan yang bisa nemenin dia waktu kita pulang.”
Jinan mengangguk setuju, kemudian kembali peluk pak Agam erat.
“Aku cinta kamu, mas… cintaaaa banget, sayang mamas banyak-banyak!” Ucapnya semangat.
Pak Agam terkekeh, “mas juga cintaaa banget sama suami mamas yang cantik ini, sayang dede banyak-banyak pokoknya!”