Suasana sunyi kala itu buat atmosfir diantara Jinan dan Raihan terasa canggung. Entah mengapa setelah Raihan mengetahui kalau anak yang Jinan lahirkan adalah anak pak Agam, dirinya lebih banyak diam, tak banyak bicara seperti sebelumnya.
Berulang kali Jinan buka topik pembicaraan diantara keduanya, namun Raihan hanya menjawab seadanya, buat Jinan kebingungan dan kehabisan topik pembicaraan.
Kini Jinan pun memilih untuk ikut diam, ia hanya fokus memperhatikan bayi kecilnya yang tengah tertidur lelap itu.
Namun tiba-tiba bayi kecil itu menangis, buat Jinan panik sebab ia masih belum berani menggendongnya.
Jinan pun hanya menenangkan bayi itu dengan cara menepuk-nepuk bokongnya pelan, namun bayi itu justru menangis semakin keras.
Raihan yang tengah duduk memperhatikan itupu terkekeh pelan, ia bangkit dari duduknya lalu menghampiri Jinan dan bayinya.
Raihan pun dengan santai mengambil bayi kecil itu kedalam gendongannya, lalu memberikannya pada Jinan.
“Gue mau nyusuin Gama dulu.. lo tunggu diluar ya?”
Raihan mengangguk lalu meninggalkan Jinan sendirian diruang rawat inap itu, ia duduk dikursi tunggu yang terletak didepan ruangan itu.
Ia menghela nafasnya panjang, ada banyak hal yang mengganggu pikirannya. Salah satunya soal hubungan pak Agam dan Jinan.
Entah mengapa saat mengetahui rahasia yang selama ini Jinan simpan itu, buat Raihan justru sakit. Ia yang awalnya merasa sangat dekat dengan anak itu kini merasa seperti orang bodoh, atau cuma ia sendirian yang menganggap Jinan dekat.
Raihan menyandarkan tubuhnya dikursi itu sambil memijat pangkal hidungnya, ia bingung dengan dirinya sendiri.
Mengapa ia merasa sesakit itu jika masalahnya cuma soal rahasia yang tak ia tahu, toh Jinan juga punya privasi, wajar jika ia tak memberi tahu Raihan.
Raihan paham hal itu.
Ia memejamkan matanya sejenak, tiba-tiba memori saat-saat ia banyak menghabiskan waktunya dengan Jinan melintas dipikirannya.
Bagaimana Jinan tertawa dan tersenyum saat bersamanya, anak itu terlihat sangat manis.
Raihan tiba-tiba berdegup kencang, ia tahu perasaan ini. Mungkin kecewa yang ia rasakan ini asalnya bukanlah dari landasan pertemanan biasa.
Raihan sudah banyak berharap, ia sudah membayangkan bagaimana ia akan menjadi sosok ayah penggangti untuk bayi itu, membangun keluarga kecil bersama Jinan.
Namun kenyataannya berbanding terbalik, tak pernah Raihan bayangkan sosok ayah kandung dari bayi itu adalah dosennya sendiri, pak Agam. Ditambah lagi pak Agam yang nampak seperti sangat menginginkan Jinan kembali padanya.
Raihan tersenyum kecut, ia tahu perasaan sakit ini. Perasaan cinta yang tak terbalaskan.
Namun Raihan berusaha untu menerima kenyataan, bahwa Jinan hanya melihatnya sebagai sosok teman.
Seharusnya Raihan sadar, tak seharusnya ia berharap cinta dari seseorang yang juga mengharapkan cinta dari orang lain.
“Raihan..”
Raihan tersadar, ia menghembuskan nafasnya pelan lalu bangkit dari duduknya dan kembaki masuk kedalam ruangan Jinan.
“Tolong gendongin anak gue lagi ketempatnya..”
Tanpa menjawab, Raihan langsung bawa bayi itu kedalam gendongannya. Ia tatap wajah lucu yang masih terjaga itu, lalu ia tersenyum.
Bayi itu benar-benar mirip Jinan.
Andai, andai ia bisa jadi sosok ayah pengganti untuk bayi itu dan membangun sebuah keluarga kecil bersama Jinan.
“Taroh aja, nanti dia tidur sendiri kok… soalnya dia udah kenyang.”
“Nggak papa, gua lagi pengen gendong aja.” Ucapnya.
Jinan pun tak melarang, ia biarkan Raihan menggendong bayi kecilnya itu dengan penuh kasih sayang. Jinan tersenyum, andai.
Andai saja yang dihadapannya sekarang adalah pak Agam.
Sementara itu dilain tempat, suasana tegang nampak menyelimuti ruang tamu rumah Jinan.
Pak Agam yang baru saja datang itu buru-buru memberikan bukti yang ia punya, rekaman suara orang tua Celine dan rekaman CCTV saat ia dan Celine bertengkar diruang tamu.
Ibunda Jinan nampak serius memperhatikan hasil rekaman itu hingga selesai, kemudian ia menganggukkan kepalanya sambil menatap pak Agam.
“Oke buktinya saya terima, tapi nggak semudah itu saya serahkan anak saya untuk kamu.” Ucap ibunda Jinan serius buat pak Agam menegup ludahnya kasar.
“Apa yang bisa kamu lakukan untuk bikin Jinan bahagia sama kamu?” tanya nya.
Pak Agam tersenyum, “saya akan usahakan apapun yang Jinan butuhkan, saya pastikan Jinan nggak merasakan kekurangan. Saya juga akan bimbing dia dijalan yang benar, dan mengizinkan dia melakukan apapun yang ingin dia lakukan, selagi kegiatan itu bermanfaat untuk Jinan.” Jelasnya.
“Kalau Jinan mau bekerja? Kamu yakin nggak apa-apa soal itu?”
Pak Agam mengangguk mantap sambil tersenyum, “saya izinkan.” Ucapnya.
Wanita itu menghela nafasnya panjang sambil menatap pak Agam lagi dari atas hingga bawah. Ia kemudian memberikan kunci mobilnya pada pak Agam, buat pria itu menatapnya bingung.
“Jemput Jinan pulang dari rumah sakit, hari ini dia sudah boleh pulang.”
Pak Agam seketika tersenyum lebar, “terimakasih — ”
“Panggil aja saya Mama, kayak Jinan panggil saya.” Ucapnya.
Pak Agam kini telah sampai dirumah sakit untuk menjemput Jinan bersama bayi mereka, tak lupa membawa satu buket bunga berisikan sepuluh tangkai mawar merah yang melambangkan kesempurnaan cinta.
Sudut bibirnya seakan tak dapat turun lagi, pertanda ia benar-benar bahagia sekarang.
Namun langkah nya seketika berhenti dengan senyumnya yang mendadak luntur tepat didepan pintu ruang rawat Jinan.
Dadanya seketika nyeri bak disambar petir saat lihat Jinan tengah tertawa bahagia bersama Raihan yang tengah menggendong bayi mereka.
Bak tertampar realita pak Agam jadi sadar diri, mungkin dirinya sudah sangat terlambat. Mungkin Jinan sudah punya tambatan hati yang lain selain dirinya, yang selama ini sudah gantikan perannya.
“Pak Agam?”
Pak Agam tesentak dan kembali tersenyum, namun tak selebar senyum sebelumnya. Ia melangkah masuk lalu memberikan buket bunga yang ia bawa itu.
Jinan dengan senang hati terima buket itu, kehadiran pak Agam sangat tak terduga, buat Jinan sangat bahagia. Kehadiran lelaki itu menjadi pertanda kalau hukumannya sudah usai, atau bisa dikatakan pak Agam benar-benar bisa membuktikan ucapannya.
Raihan yang tengah menggendong bayi kecil itu mendadak diam, ia letakkan bayi itu kembali ditempatnya.
“Kalo gitu gua pulang duluan ya, besok gua besuk kerumah lu.” Pamit Raihan.
Jinan mengangguk sambil tersenyum, “makasih ya Rai, makasih buat semuanya.” Ucapnya.
Raihan terkekeh sambil mengangguk lalu melambaikan tangannya dan meninggalkan ruangan itu, menyisakan pak Agam dan Jinan.
Kedua anak Adam itu sama-sama merasa canggung, pak Agam yang bingung harus mengatakan apa dan Jinan yang sudah berdegup tak karuan sejak tadi.
Pak Agam duduk disebuah kursi disamping ranjang Jinan, ia tersenyum lalu meraih satu tangan Jinan kedalam genggamannya.
Dapat Jinan lihat dengan jelas beberapa bekas lebam yang mulai pudar diwajah pak Agam, buat Jinan sedikit meringis membayangkan bagaimana laki-laki itu dipukuli karna dirinya.
“Pasti sakit banget ya pak…” Jinan tangkup pipi pak Agam dengan sebelah tangannya, lalu ia elus dengan lembut bekas lebam itu.
Pak Agam tersenyum, ia mengangguk pelan.
“Sekarang masih sakit?” Tanya Jinan lagi.
Pak Agam kembali mengangguk, “sembuhin biar saya nggak sakit lagi.” Ucapnya buat Jinan bingung.
“Saya nggak bisa, kan bukan dokter.. bapak lagian kenapa nggak langsung diobatin waktu itu…”
“Karna cuma kamu yang bisa ngobatin saya, Jinan.”
Jinan kembali dibuat bingung, “nggak bisa pak Agam…”
“Bisa, sayang.” Jinan terdiam, jantungnya seketika berdegup kencang dengan pipi yang memerah.
Pak Agam menunjuk salah satu bekas lebam dirahang sebelah kirinya sambil tersenyum, “kalo nggak percaya, coba kamu cium disini, nanti pasti langsung sembuh.” Ucapnya buat Jinan seketika terkekeh geli, rupanya pak Agam juga bisa menggombal padanya.
Jinan tak mau kalah, ia ingin menyerang pak Agam balik, “emang mau banget saya cium nih?” Jinan kalungkan kedua tangannya dipundak pak Agam, sambil menatap pria itu dengan tatapan menggoda.
Pak Agam terkekeh, ia balas melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Jinan.
“Memang kamu tega, biarin saya kesakitan, hm?”
Jinan tak dapat tahan senyumnya lagi, jantungnya benar-benar berdegup kencang. Ia lantas menggeleng sebagai jawaban, lalu mulai mendekatkan wajahnya pada wajah pak Agam.
Chup
Ia kecup tempat yang sempat ditunjuk oleh pak Agam tadi, lalu berpindah mengecup bagian-bagian lain yang terdapat tanda lebam.
Lalu tiba dibagian inti, bibir pak Agam.
Jinan tatap wajah pak Agam sayu, begitu pun pak Agam yang juga ikut menatap wajahnya Jinan. Keduanya sama-sama rindu, setelah sekian lama terpisah akhirnya dapat dipersatukan kembali.
“Saya rindu kamu, murid nakal.”
Jinan terkekeh lalu menangkup rahang pak Agam dengan kedua tangannya.
“Saya juga rindu, dosen galak.” Balasnya.
Pak Agam tersenyum dan langsung mempertemukan dua bilah benda kenyal itu dengan milik Jinan, ia lumat bibir itu dengan lembut seraya mengeratkan pelukannya pada pinggang Jinan.
Ia sesap bibir itu bergantian atas dan bawah, sambil ia beri sedikit gigitan kecil, buat Jinan meringis geli.
“Mmmhhh~…” lenguh Jinan melantun merdu ditelinga pak Agam, buat pria itu tersenyum disela-sela ciumannya.
Sudah lama ia tak dengan lantunan merdu lenguh Jinan.
Sementara Jinan tak tinggal diam, ia balas setial lumatan dan sesapan yang pak Agam berikan. Tangannya yang bertengger dipundak pak Agam pun tak tinggal diam, bergerak naik turun menyisir surai yang lebih tua.
“Emhhhh… mpphhh~…” Jinan memejamkan matanya saat rasakan sentuhan geli jari-jari pak Agam yang mulai menelusup masuk kedalam bajunya.
Cumbuan keduanya lepas, pak Agam turun dan mulai menyerang perpotongan leher Jinan. Sementara itu Jinan hanya mendongakkan kepalanya pasrah, biarkan pak Agam menciumi permukaan lehernya.
“Hhaaahhh… sshhh…” Jinan menggigit bibirnya saat pak Agam mulai menyesap kulit leherya, memberikan tanda ruam kepemilikan yang selama ini tak ia dapatkan.
Tangan pak Agam mulai tergerak naik, mengusap permukaan dada Jinan yang sedikit berisi itu. Ibu jarinya bergerak naik hingga menyentuh puting Jinan yang sudah mencuat tegang itu.
“Sshhh aahh.. geli pakhhh..” desah Jinan sambil merem melek keenakan.
Dua anak Adam itu benar-benar lupa dimana mereka tengah berada, bahkan melupakan bayi kecil mereka yang tengah tertidur didekat mereka.
“Aahhh!!” Dada Jinan membusung saat putingnya dicubit oleh pak Agam.
Air susunya mengalir keluar hingga basahi piyama yang ia pakai.
Pak Agam mendongak, menatap Jinan seakan meminta persetujuan. Jinan yeng mengerti seakan memberikan izinnya dengan menganggukkan kepalanya.
Pak Agam pun mulai lucuti satu persatu kancing baju Jinan, lalu membuka bagian dadanya.
Pipi Jinan seketika bersemu merah, ia merasa malu saat pak Agam terus tatap bagian payudaranya yang berisi itu.
Sementara pak Agam tak berbenti memandang kagum bagian dada Jinan yang semakin terlihat cantik dengan puting pink kecoklatan yang tampak mencuat dan susu yang mengalir keluar.
Pak Agam tak dapat tahan lagi, ia langsung mendekat kearah dada Jinan dan langsung melahap puting cantik itu.
“Aaahhh!!” Jinan mendongakkan kepalanya saat rasakan mulut hangat pak Agam yang mulai mengulum putingnya.
“Mnnnhhh pelan-pelanhh…” peringat Jinan sambil meremas surai legam pria itu.
Pak Agam benar-benar seperti bayi yang kelaparan, menyesap puting Jinan kencang, menikmati setiap tetes susu yang keluar dari sana.
Klek
“Jinan — EH! ANJING!!” Gathan dan Bayu yang baru saja datang dan masuk kedalam ruangan Jinan itu seketika berbalik dan kembali keluar.
Jinan dan pak Agam yang tengah menyusu itu pun turut terkejut dan langsung menghentikan aktivitas intim mereka.
Pak Agam langsung rapikan piyama yang Jinan pakai lalu kembali kancingkan bajunya.
Pipi pak Agam ikut memerah karna malu, sebab aktivitas favoritnya itu ditangkap basah oleh dua orang yang pernah jadi mahasiswanya itu.
“K-kayaknya mereka langsung pulang lagi deh pak…”
Pak Agam menganggukkan kepalanya pelan, ia merasa canggung.
“Pak Agam mau nyusu lagi?” Tanya Jinan seakan tengah menggoda laki-laki itu.
Pak Agam langsung menggelengkan kepalanya, bukannya tak mau, tapi ia tak ingin ketahuan lagi seperti tadi. Ia merasa sangat malu.
Jinan terkekeh pelan melihat wajah gugup pak Agam.
“nanti, dirumah lagi.” Ucap pak Agam dengan wajah yang memerah, buat Jinan benar-benar merasa gemas sebab pak Agam tak pernah seperti ini sebelumnya.
“A-ayo pulang, mama kamu pasti udah nungguin.” Pak Agam bangkit dari duduknya.
“Saya beresin barang-barang kamu sama anak kita, sekalian ambil kursi roda untuk kamu dulu ya?”
Jinan mengangguk sambil tersenyum, “iya, mas sayang.” Ucapnya sukses buat telinga pak Agam merah padam.
Laki-laki itu langsung buru-buru keluar untuk mengambilkan kursi roda untuknya.
Tak lama berselang, pintu ruangannya kembali terbuka dengan Gathan dan Bayu yang kembali masuk kedalam ruangannya.
“Emang gila ya lu berdua, untuk gue sama Bayu yang masuk. Gimana kalo mak lu yang masuk, bisa-bisa batal itu restu. Minimal tau tempat lah anjeng!” Ucap Gathan dengan raut jengahnya.
Jinan mengedikkan bahunya acuh, “lah salah siapa, masuk nggak ngetok dulu.” Ucapnya.
“Jadi udah terbukti kalo anak cewek itu bukan anak pak Agam?” Tanya Bayu.
Bukannya menjawab pertanyaan Bayu, Jinan justru meminta laki-laki itu mendekat. Namun saat Bayu benar-benar mendekat, ia langsung melayangkan tinjunya lada pria itu, hingga pria itu terhuyung kebelakang dan hampir terjatuh.
BUGH!
“Anjing Jinan!” Kaget Gathan.
“Sekarang impas ye, lo gebukin muka laki gue nggak kira-kira anjing. Lebam semua mukanya.” Ucapnya kesal.
Bayu tak marah sama sekali, ia hanya sedikit meringis sambil memegangi pipi kirinya.
“Nggak ngambek lagi kan, tapi?” Tanya Bayu.
Jinan mengangguk, “ya, nggak.” Ucapnya.
Bayu terkekeh pelan, tak apa ia dipukul asal Jinan puas dan tak marah lagi padanya.
Pintu ruangan kembali terbuka, pak Agam datang dengan kursi rodanya. Namun laki-laki itu nampak menunduk malu, enggan menatap pada Bayu dan Gathan.
“Santai aja pak, nggak usah malu. Bayu juga suka nenen kok, sama kayak bapak.”